Refleksi akhir tahun 2007
Hari itu kami baru merampungkan kerja selama sebulan terakhir. Dalam perjalanan pulang, perbincangan bersama teman seperjalanan memberiku kenyataan baru. Kisah yang selama ini hanya kudengar dari para dosen sebagai contoh kasus dalam penjelasan materi di kelas kini hadir dihadapan.
Bermula dengan pembicaraan seputar karir seusai kulah, obrolan mlebar hingga mempertanyakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. “Gue masih belum menemukan apa fungsi laki-laki selain fungsi biologis.”
Sulit bagi saya untuk berkomentar menanggapi pertanyaan ini. Saya masih berpegang teguh bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk memenuhi fungsi bagiannya masing-masing kemudian saling melengkapi, saling mengisi kekosongan. Sehebat-hebatnya seorang laki-laki, tentu ada sisi yang perlu dipenuhi seorang perempuan, siapapun perempuan itu. Bisa jadi ibunya, saudaranya, rekan kerja, rival, atau pasangan hidupnya, bahkan anaknya. Tapi saya kehilangan kata dalam rangkaian. Jadinya hanya diam.
“Gue suka kesel sama cowok yang pernah nyakitin cewek. Buat apa punya cowok klo Cuma disakitin. Toh lo juga bisa sendiri. Gue masih belom nemu apa fungsinya cowok… Dari pada saling nyakitin ya udah, lo-lo, gue-gue,” laanjutnya agak sengit. Saya tergelitik. Teman yang berkata ini bukanlah teman yang kukenal sebagai orang yang anti berpasangan. Sampai tulisan ini saya buat pun ia masih berstatus “single, but not available”. Bagaimana bisa ia berkomentar demikian? Sebuah pertanyaan klarifikasipun kuajukan padanya, “Hm.. jadi, lo pacaran itu buat apa? Apa karena lo pengen mengalami yang temen-temen lo alami atau karena situasi lingkungan yang semuanya seperti itu, jadi lo juga pengen seperti itu?”. “Pada akhirnya begitu,” jawabnya singkat.
Bagi teman seperjalanan saya kali itu, pacaran atau berpasangan hanyalah bagian dari upaya konformitas. Ia ingin diterima lingkungan. Ia ingin dianggap norma, selain juga merasakan keinginan untuk merasakan kesenangan yang kerap diungkapkan teman seusia yang tengah menjalani hubungan itu.
Upaya konformitas semacam ini tentu bukan hal asing bagi kita. Siapapun, dimanapun selalu berusaha “menjadi sama” dengan lingkungan agar dapat diterima. Untuk itu peraturan dibuat dan ditaati. Konformitas juga membentuk identitas yang dipilih individu untuk dilekati. Contoh di atas rasanya sudah cukup menjelaskan. Kini tinggal bagaimana kita menjalani konformitas itu.
Ketakutan kehilangan identitas biasanya mendasari seseorang melakukan konformitas. Dengan bersikap kritis seseorang dapat diterima di sebuah komunitas diskusi yang intelek. Dengan demikian ia berani meng-claim bahwa dirinya berasal dari kalangan pendidikan. Ia seorang yang kritis. Ia akan cenderung terus mengasah sikap kritis tersebut dengan membaca media yang sekiranya membantu. Koran, misalnya. Ia juga akan menghindari membaca komik karena takut akan ejekan jika orang lain mengetahui bacaannya “kurang bermutu” sehingga ia kehilangan identitas sebagai kaum intelektual.
Sayangnya, konformitas seringkali menimbulkan konflik dalam diri. Sebagai kalangan “kelas atas”, wine dan branded thing menjadi must have item. Sementara sebenarnya individu tersebut lebih memilih minum kopi tubruk di warteg, bercelana jins belel yang nyaman ketimbang bersikap elegan dengan tuxedo di ballroom. Jika ia menuruti keinginannya, tentu ia akan dicap sebagai orang berselera rendah dan didepak dari komunitas kelas atas. Ia pun akan kehilangan identitas sebagai anggota komunitas itu dan kehilangan akses dalam beberapa hal terkait.
Contoh lain, seorang anak anggota geng pelajar tertentu. Ia harus bersikap sama dengan kelompoknya jika tidak ingin dikeluarkan dan menjadi bulan-bulanan kelompok itu meskipun kerap ia tidak memberikan hatinya. Konformitas menjadi upaya untuk “bertahan hidup”.
Lantas, apakah konformitas juga berarti komunisme? Individu tidak lagi memiliki identitas diri. Semua sama. Mulai dari dandanan, potongan rambut, hingga cara pegang sendok di kala menyantap makanan jatah dengan porsi sama persis hingga gram-nya. Semua sama rata, sama rasa. Persis halnya jaman Gorbachev berkuasa.
Tentu tidak. Konformitas bukanlah upaya cloning. Pertama, konformitas dilakukan atas dasar suka rela. Namanya juga suka rela, individu yang bersangkutan memilih bentuk konformitas sesuka dan serelanya. Ia bisa memilih untuk berkonform hanya dalam hal tampilan fisik sementara individu lain memilih untuk berkonform dalam hal cara duduk. Dasarnya kebebasan. Individu tetap memiliki kebebasan memilih kelompok mana yang ingin dimasuki berikut jenis konformitas yang diperlukan untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Kedua, kornformitas dalam satu hal tidak lantas membuat seluruh identitas individu hilang, melebur dalam kelompok. Dengan bergabung dalam satu sekolah an mengikuti segala aturan yang berlaku di sekolah tersebut, bukan lantas membuat seluruh hidup individu dikungkung aturan tersebut. Sepulang sekolah, ia tetap menjadi anggota kelompok sepermainannya yang memiliki peraturan main sendiri. Misalkan untuk mengikut pelajaran di sekolah ia diwajibkan mengenakan seragam, ketika bermain di kelompoknya di luar sekolah, ia dapat mengenakan topi khas kelompoknya. Individu yang sama melakukan konformitas dalam dua kelompok yang berbeda. Ia tetap diterima dalam kelompok tanpa kehilangan jati dirinya.
Tentu ini tidak berlaku bagi individu yang memilih untuk memiliki kelekatan sempurna dengan sebuah kelompok. Fanatik.
Menjelang tahun yang baru. Mungkin ini saat yang tepat untuk memilah bentuk konformitas yang akan dilakukan berikutnya. Juga menetapkan identitas yang sesuai dengan diri dan berjuang untuk identitas impian secara realistis. Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Tidak juga menhyalahkan teman seperjalanan tadi atas pilihannya untuk berkonformitasi. Saya hanya ingin mengingatkan diri untuk tidak menipu diri atas perasaan sendiri dan mengaji ulang semua yang telah diputuskan. Dengan kata lain, refleksi akhir tahun.
Wednesday, December 19, 2007
Sunday, November 18, 2007
Take and Give
Pada prinsipnya, menerima dan memberi (take and give) adalah tindakan yang timbal balik. Mulanya seseorang menerima sesuatu dalam kehidupannya. Ia menerima kehidupan dari keluarga dikala masih tak berdaya. Pemberian itu lantas dibagikan pada orang lain dan akan berbuah. Dengan memberi, ia pun menerima.
Prinsip inilah yang hendak diterapkan dalam konteks bekerja. Karyawan yang telah diberikan kesempatan bekerja oleh perusahaan hendaknya membalas pemberian itu dengan menampilkan kinerja maksimal. Kinerja yang maksimal itu kemudian akan dihargai pula oleh perusahaan berupa gaji yang pantas, penghargaan prestasi, promosi, dan berbagai bentuk penghargaan lainnya. Sebaliknya, jika karyawan tidak memberikan yang terbaik yang ada dalam dirinya, ia tidak bisa mengharapkan perusahaan akan memberikan balasan yang tinggi.
Dalam teorinya, Victor Vroom mengatakan, ”kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.”[1]. Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata melakukan yang minimum diperlukan untuk menyelamatkan diri.
Kunci untuk teori harapan adalah pemahaman tujuan-tujuan seorang individu dan keterkaitan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan gajaran, dan akhirnya antara ganjaran dan dipuaskannya tujuan individual. Teori harapan mengakui bahwa tidak ada asas yang universal untuk menjelaskan motivasi semua orang.
Teori harapan ini memang lebih tepat jika diperuntukkan bagi pemahaman manajerial. Namun, upaya pemahaman teori ini hendaknya juga diimbangi dengan pengembangan persepsi karyawan bahwa dengan semakin baik kinerja (semakin banyak keluaran yang diberikan pada perusahaan), akan semakin baik pula ganjaran yang diterimanya – terlepas dari apakah ganjaran itu mampu memenuhi atau memuaskan kebutuhan individu yang bersangkutan.
[1] Stephen Robbins.Perilaku Organisasi (Jakarta: P.T. Indeks Kelompok Gramedia, 2003) halaman 229.
Prinsip inilah yang hendak diterapkan dalam konteks bekerja. Karyawan yang telah diberikan kesempatan bekerja oleh perusahaan hendaknya membalas pemberian itu dengan menampilkan kinerja maksimal. Kinerja yang maksimal itu kemudian akan dihargai pula oleh perusahaan berupa gaji yang pantas, penghargaan prestasi, promosi, dan berbagai bentuk penghargaan lainnya. Sebaliknya, jika karyawan tidak memberikan yang terbaik yang ada dalam dirinya, ia tidak bisa mengharapkan perusahaan akan memberikan balasan yang tinggi.
Dalam teorinya, Victor Vroom mengatakan, ”kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.”[1]. Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata melakukan yang minimum diperlukan untuk menyelamatkan diri.
Kunci untuk teori harapan adalah pemahaman tujuan-tujuan seorang individu dan keterkaitan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan gajaran, dan akhirnya antara ganjaran dan dipuaskannya tujuan individual. Teori harapan mengakui bahwa tidak ada asas yang universal untuk menjelaskan motivasi semua orang.
Teori harapan ini memang lebih tepat jika diperuntukkan bagi pemahaman manajerial. Namun, upaya pemahaman teori ini hendaknya juga diimbangi dengan pengembangan persepsi karyawan bahwa dengan semakin baik kinerja (semakin banyak keluaran yang diberikan pada perusahaan), akan semakin baik pula ganjaran yang diterimanya – terlepas dari apakah ganjaran itu mampu memenuhi atau memuaskan kebutuhan individu yang bersangkutan.
[1] Stephen Robbins.Perilaku Organisasi (Jakarta: P.T. Indeks Kelompok Gramedia, 2003) halaman 229.
Monday, November 12, 2007
Penataan
Tampaknya sebuah tempat sampah tidak baik jika diisi berbagai jenis sampah. Mengingat kepentingan lingkungan jangka panjang, ada baiknya pemilahan sampah dilakukan. Begitu juga pemililahan tulisan. Tampaknya blog ini akan lebih banyak memuat tulisan seputar penulisan, psikologi, atau sosial terbatas. Foto-foto perjalanan hasil hunting dan tulisan seputar budaya dan alam tampaknya akan diletakkan di rajawalikecil.multiply.com. Sekadar memberi label lebih jelas pada situs pribadi. Selamat menikmati ^.^
sekelumit AQ
Suatu perusahaan didirikan tentunya untuk mencapai suatu target (goal). Pencapaian target itu membutuhkan upaya sinergi dari seluruh elemen perusahaan. Untuk itu dibutuhksn tenaga kerja yang dengan kesadaran penuh berkehendak berjuang bersama mencapai target tersebut.
Sayangnya tidak semua pekerja memiliki ambisi dan daya juang dalam kapasitas yang sama. Menurut Stoltz ada tiga tipe pekerja:
1. Quitters
2. Campers
3. Climbers
Quitters adalah tipe pekerja yang menyerah sebelum bertanding. Ketika melihat tingginya gunung yang harus didaki, ia berkata pada dirinya dan orang lain bahwa ia tidak akan mampu mendaki sampai ke puncak. Ia pun memilih untuk tidak mulai mencoba. Ia memilih hanya duduk di bawah.
Pekerja dengan tipe Quitters adalah pekerja yang selalu menghindari tantangan, serupa dengan pekerja tipe X pada teori McGregor. Ia selalu berupaya mencari tempat yang aman. Ia ingin memperoleh kondisi yang lebih baik, tapi ia enggan berusaha. Ia memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh tantangan. Hidupnya akan stagnan pada tingkat terbawah.
Tipe pekerja Campers adalah tipe pekerja yang berani mencoba mengambil langkah pertama. Meskipun ragu, ia memberanikan diri untuk mulai melangkah. Ada usaha untuk maju. Di tengah pendakian, Campers menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Tempat itu rindang dan teduh. Campers kemudian memutuskan untuk tinggal lebih lama di tempat itu dan tidak pernah melanjutkan pendakiannya.
Tempat teduh yang nyaman untuk beristirahat itu diibaratkan sebagai pekerjaan yang tengah dijalani saat ini. Pada posisi ini kehidupan masih bisa dilangsungkan dan pekerja cukup puas dengan pencapaiannya. Ia tidak ingin lebih sementara pada dirinya masih terdapat banyak potensi yang dapat dikembangkan.
Tipe ketiga adalah tipe Climbers. Climbers adalah pendaki sejati. Ia tidak akan berhenti terlalu lama pada satu titik sebelum mencapai puncak. Ia akan beristirahat seperti Campers, tapi akan meninggalkan Campers untuk kembali mendaki jika dirasa waktunya tepat. Dengan upaya maksimal, Climbers akan mencapai puncak dan menikmati hasil usahanya.
Seorang Climbers adalah orang yang berani mengambil langkah pertama dan terus melanjutkan melangkah hingga tujuannya tercapai. Climbers telah menetapkan misi di awal dan bergerak menuju target tersebut. Ada kalanya ia berhenti pada satu titik atau satu posisi pekerjaan. Namun, ia akan segera mendaki kembali. Ia hanya beristirahat sejenak, menikmati pencapaian usahanya dan berjuang lagi mencapai target.
”Climbers adalah orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan, atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik, atau hambatan lain menghalangi pendakiannya.” (Stoltz, 2000:20). Pekerja tipe Climbers-lah yang akan sukses meniti karir dan dapat menikmati hasil kerja kerasnya.
referensi:
Stoltz.(2000).Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.Jakarta: Grasindo.
http://www.peaklearning.com
http://www.climbingschool.com
http://winstonbrill.comhttp://institutmahardika.com
Sayangnya tidak semua pekerja memiliki ambisi dan daya juang dalam kapasitas yang sama. Menurut Stoltz ada tiga tipe pekerja:
1. Quitters
2. Campers
3. Climbers
Quitters adalah tipe pekerja yang menyerah sebelum bertanding. Ketika melihat tingginya gunung yang harus didaki, ia berkata pada dirinya dan orang lain bahwa ia tidak akan mampu mendaki sampai ke puncak. Ia pun memilih untuk tidak mulai mencoba. Ia memilih hanya duduk di bawah.
Pekerja dengan tipe Quitters adalah pekerja yang selalu menghindari tantangan, serupa dengan pekerja tipe X pada teori McGregor. Ia selalu berupaya mencari tempat yang aman. Ia ingin memperoleh kondisi yang lebih baik, tapi ia enggan berusaha. Ia memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh tantangan. Hidupnya akan stagnan pada tingkat terbawah.
Tipe pekerja Campers adalah tipe pekerja yang berani mencoba mengambil langkah pertama. Meskipun ragu, ia memberanikan diri untuk mulai melangkah. Ada usaha untuk maju. Di tengah pendakian, Campers menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Tempat itu rindang dan teduh. Campers kemudian memutuskan untuk tinggal lebih lama di tempat itu dan tidak pernah melanjutkan pendakiannya.
Tempat teduh yang nyaman untuk beristirahat itu diibaratkan sebagai pekerjaan yang tengah dijalani saat ini. Pada posisi ini kehidupan masih bisa dilangsungkan dan pekerja cukup puas dengan pencapaiannya. Ia tidak ingin lebih sementara pada dirinya masih terdapat banyak potensi yang dapat dikembangkan.
Tipe ketiga adalah tipe Climbers. Climbers adalah pendaki sejati. Ia tidak akan berhenti terlalu lama pada satu titik sebelum mencapai puncak. Ia akan beristirahat seperti Campers, tapi akan meninggalkan Campers untuk kembali mendaki jika dirasa waktunya tepat. Dengan upaya maksimal, Climbers akan mencapai puncak dan menikmati hasil usahanya.
Seorang Climbers adalah orang yang berani mengambil langkah pertama dan terus melanjutkan melangkah hingga tujuannya tercapai. Climbers telah menetapkan misi di awal dan bergerak menuju target tersebut. Ada kalanya ia berhenti pada satu titik atau satu posisi pekerjaan. Namun, ia akan segera mendaki kembali. Ia hanya beristirahat sejenak, menikmati pencapaian usahanya dan berjuang lagi mencapai target.
”Climbers adalah orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan, atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik, atau hambatan lain menghalangi pendakiannya.” (Stoltz, 2000:20). Pekerja tipe Climbers-lah yang akan sukses meniti karir dan dapat menikmati hasil kerja kerasnya.
referensi:
Stoltz.(2000).Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.Jakarta: Grasindo.
http://www.peaklearning.com
http://www.climbingschool.com
http://winstonbrill.comhttp://institutmahardika.com
Tuesday, October 23, 2007
Individualitas vs keadilan
Lama tidak meng-up date, seorang teman mulai mengejek hehehe...
Well, mengingat kejadian hampir sebulan yang lalu.
Setiap orang iciptakan dengan keunikan masing-masing. tidak ada rumus baku yang dapat menampung semua kebutuhan setiap orang jangankan setiap orang, setiap anggota komunitas tentu pantas untuk diperlakukan berbeda, sesuai dengan kebutuhannya. Apa lantas itu berarti ketidakadilan? Dalam kasus tertentu tentu saja tidak.
Kasus yang hendak saya bahas pada kesempatan ini lebih pada pemberian hukuman. Saya setuju dengan teori behavioral bahwa interaksi dengan lingkungan dapat membentuk suatu perilaku individu. Hukuman ataupun komentar kecil yang ditujukan pada individu oleh individu lain dapat berbeda efeknya. Sebagai contoh, peristiwa menjatuhkan barang. Individu A dapat dengan tak pedulinya melengos pergi begitu saja dan baru bersedia membereskan barang tersebut setelah seluruh ruangan memaki-maki. Individu B, hanya dengan reaksi spontan orang-orang menengok padanya setelah mendengar bunyi jatuh barang tersebut sudah merasa amat malu hingga ingin menghilang dari dunia detik itu juga.
Untuk individu tipe A tentu perlu campur tangan lingkungan untuk membantunya berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Bagi individu B yang memiliki tingkat kesadaran diri (awareness) yang tinggi, ia tidak memerlukan teguran dalam bentuk apapun dari orang lain. Reaksi spontan menengok atau tersenyum tanpa kata sudah cukup menjadi peringatan baginya. Jika lingkungan bereaksi lebih dari itu, memarahinya atau bahkan menghukumnya, ia akan merasa sangat kesal karena sesungguhnya ia tidak membutuhkan peringatan keras semacam itu.
Singkatnya, ada waktunya untuk memperlakukan individu secara berbeda, sesuai dengan individualitasnya masing-masing.
Well, mengingat kejadian hampir sebulan yang lalu.
Setiap orang iciptakan dengan keunikan masing-masing. tidak ada rumus baku yang dapat menampung semua kebutuhan setiap orang jangankan setiap orang, setiap anggota komunitas tentu pantas untuk diperlakukan berbeda, sesuai dengan kebutuhannya. Apa lantas itu berarti ketidakadilan? Dalam kasus tertentu tentu saja tidak.
Kasus yang hendak saya bahas pada kesempatan ini lebih pada pemberian hukuman. Saya setuju dengan teori behavioral bahwa interaksi dengan lingkungan dapat membentuk suatu perilaku individu. Hukuman ataupun komentar kecil yang ditujukan pada individu oleh individu lain dapat berbeda efeknya. Sebagai contoh, peristiwa menjatuhkan barang. Individu A dapat dengan tak pedulinya melengos pergi begitu saja dan baru bersedia membereskan barang tersebut setelah seluruh ruangan memaki-maki. Individu B, hanya dengan reaksi spontan orang-orang menengok padanya setelah mendengar bunyi jatuh barang tersebut sudah merasa amat malu hingga ingin menghilang dari dunia detik itu juga.
Untuk individu tipe A tentu perlu campur tangan lingkungan untuk membantunya berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Bagi individu B yang memiliki tingkat kesadaran diri (awareness) yang tinggi, ia tidak memerlukan teguran dalam bentuk apapun dari orang lain. Reaksi spontan menengok atau tersenyum tanpa kata sudah cukup menjadi peringatan baginya. Jika lingkungan bereaksi lebih dari itu, memarahinya atau bahkan menghukumnya, ia akan merasa sangat kesal karena sesungguhnya ia tidak membutuhkan peringatan keras semacam itu.
Singkatnya, ada waktunya untuk memperlakukan individu secara berbeda, sesuai dengan individualitasnya masing-masing.
Thursday, June 14, 2007
Menanti Arisan =p
Sehari berjaga untuk box. Hari terakhir pengembalian formulir gelombang IV. Terlalu sepi untuk ukuran kami. Belum lagi salah seorang rekan tengah dirawat di rumah sakit karena Demam berdarah. Satu-satunya penghiburan hanyalah kehadiran rekan-rekan PMB mulai dari PMB 7-9. Kebersamaan-kekeluargaan yang selalu menyenangkan! Tak sabar menanti pertemuan arisan PMB berikutnya.
Sunday, May 13, 2007
Sunday, May 6, 2007
Menjaga Mutu
Masih, bernuansa Hari Pendidikan Nasional, orang-orang sibuk meributkan mutu pendidikan di Indonesia, termasuk meributkan alokasi dana pendidikan dari APBN. Institusi pendidikan dituntut untuk begini dan begitu. Semua ini semakin memicu keresahan saya mencuat ke permukaan. Keresahan yang sudah tiga tahun terakhir ini saya rasakan dan hanya mampu saya ributkan pada teman-teman sekomunitas. Ini perihal tuntutan tersedianya sumber daya manusia yang profesional.
Melihat proses pembelajaran dan pendidikan para calon pengajar dan pendidik di segala bidang membuat saya seolah berlari dalam roda marmut. Saya yakin Anda pernah melihat marmut kecil yang berlari di dalam roda di kandangnya. Persis seperti itu yang saya rasakan.
Saya akan coba mulai dari tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan tenaga profesional. Menyadari kebutuhan akan pendidikan yang menjadi semakin crucial, masyarakat secara langsung maupun tak langsung menuntut berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang bermutu lagi terjangkau. Namun, tidak mudah mencari tenaga pengajar dan pendidik yang betul-betul memenuhi kualifikasi bermutu. Pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan meningkatkan prasyarat mutlak pendidikan minimal. Untuk itu, institusi pendidikan yang telah berjalan berupaya memenuhi standar tersebut dengan memberi sarana pada para tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang dipersyaratkan. Dampaknya ada dua. Nantilah saya uraikan lebih lanjut.
Tidak puas dengan tenaga "tua", masyarakat juga menuntut tersedianya bibit-bibit baru yang dinilai lebih modern, lebih moderat, meninggalkan cara pendidikan lama yang "kolonial banget". Sayangnya, proses pendidikan para calon pendidik ini terpaksa diinterupsi oleh para pendidik senior yang tidak mau begitu saja meninggalkan gaya mapan mereka. Memang tidak sepenuhnya. Ada kalanya mereka menuntut pula para calon pendidik ini untuk mengikuti perkembangan jaman. Hanya saja, cara mereka menuntut tidak dibarengi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam porsi yang seimbang. Alhasil, sia-sialah upaya kreatif itu. Dan terasa belum cukup hanya memotong dan menyalakan, mereka juga tidak diberi gambaran jelas tentang rincian tuntutan itu. Hasilnya, lagi-lagi gaya kolonial itu yang ditiru para calon pendidik. Lagi-lagi masyarakat dikecewakan.
Itu baru dari segi gaya pendidikan dan pengajaran. Dari segi jumlah tenaga pendidik lain lagi masalahnya. Paradigma lama (yang sayangnya masih menjadi fenomena saat ini) masih menghantui: jadi guru = ????. Dan menempuh studi di fakultas pendidikan sama saja dengan mematikan masa depan. Padahal, untuk menjadi seorang pendidik tidak hanya dapat ditempuh melalui jalur formal: jadi guru. Menjadi orang tua juga berarti menjadi pendidik bagi anak-anak mereka. Menjadi seorang atasan berarti menjadi pendidik bagi bawahan. Menjadi rekan kerja berarti menjadi teman didik (peer tutor). Dalam segala segi kehidupan. Dan ilmu pendidikan pun praktis dapat diterapkan di berbagai apek kehidupan, di berbagai profesi. Namun, tetap saja bidang disiplin ini dipandang sebelah mata. Berlanjutnya paradigma ini tentunya mempertahankan kecilnya jumlah tenaga profesional pendidikan yang ada.
Mengapa anak muda tidak tertarik pada bidang ini? Atau, aspek apa yang sekiranya dapat menarik minat anak muda dalam bidang ini? Tenaga pengajar yang ada? (yang kolot itukah?) Sistem pendidikan yang ada? (yang berubah tiap tahun, berubah sebelum sistem berlajan stabil dan menghasilkan?) Lantas apa?
Akhirnya, mutu seperti apa yang bisa kita harapkan? Bagaimana meningkatkannya???
Melihat proses pembelajaran dan pendidikan para calon pengajar dan pendidik di segala bidang membuat saya seolah berlari dalam roda marmut. Saya yakin Anda pernah melihat marmut kecil yang berlari di dalam roda di kandangnya. Persis seperti itu yang saya rasakan.
Saya akan coba mulai dari tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan tenaga profesional. Menyadari kebutuhan akan pendidikan yang menjadi semakin crucial, masyarakat secara langsung maupun tak langsung menuntut berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang bermutu lagi terjangkau. Namun, tidak mudah mencari tenaga pengajar dan pendidik yang betul-betul memenuhi kualifikasi bermutu. Pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan meningkatkan prasyarat mutlak pendidikan minimal. Untuk itu, institusi pendidikan yang telah berjalan berupaya memenuhi standar tersebut dengan memberi sarana pada para tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang dipersyaratkan. Dampaknya ada dua. Nantilah saya uraikan lebih lanjut.
Tidak puas dengan tenaga "tua", masyarakat juga menuntut tersedianya bibit-bibit baru yang dinilai lebih modern, lebih moderat, meninggalkan cara pendidikan lama yang "kolonial banget". Sayangnya, proses pendidikan para calon pendidik ini terpaksa diinterupsi oleh para pendidik senior yang tidak mau begitu saja meninggalkan gaya mapan mereka. Memang tidak sepenuhnya. Ada kalanya mereka menuntut pula para calon pendidik ini untuk mengikuti perkembangan jaman. Hanya saja, cara mereka menuntut tidak dibarengi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam porsi yang seimbang. Alhasil, sia-sialah upaya kreatif itu. Dan terasa belum cukup hanya memotong dan menyalakan, mereka juga tidak diberi gambaran jelas tentang rincian tuntutan itu. Hasilnya, lagi-lagi gaya kolonial itu yang ditiru para calon pendidik. Lagi-lagi masyarakat dikecewakan.
Itu baru dari segi gaya pendidikan dan pengajaran. Dari segi jumlah tenaga pendidik lain lagi masalahnya. Paradigma lama (yang sayangnya masih menjadi fenomena saat ini) masih menghantui: jadi guru = ????. Dan menempuh studi di fakultas pendidikan sama saja dengan mematikan masa depan. Padahal, untuk menjadi seorang pendidik tidak hanya dapat ditempuh melalui jalur formal: jadi guru. Menjadi orang tua juga berarti menjadi pendidik bagi anak-anak mereka. Menjadi seorang atasan berarti menjadi pendidik bagi bawahan. Menjadi rekan kerja berarti menjadi teman didik (peer tutor). Dalam segala segi kehidupan. Dan ilmu pendidikan pun praktis dapat diterapkan di berbagai apek kehidupan, di berbagai profesi. Namun, tetap saja bidang disiplin ini dipandang sebelah mata. Berlanjutnya paradigma ini tentunya mempertahankan kecilnya jumlah tenaga profesional pendidikan yang ada.
Mengapa anak muda tidak tertarik pada bidang ini? Atau, aspek apa yang sekiranya dapat menarik minat anak muda dalam bidang ini? Tenaga pengajar yang ada? (yang kolot itukah?) Sistem pendidikan yang ada? (yang berubah tiap tahun, berubah sebelum sistem berlajan stabil dan menghasilkan?) Lantas apa?
Akhirnya, mutu seperti apa yang bisa kita harapkan? Bagaimana meningkatkannya???
Friday, April 27, 2007
Perasaan & Katarsis
Feeling, nothing more than feeling..,tying to forget... Lirik lagu lama yang terkadang masih terngiang. Memang, sulit untuk melupakan hal-hal tertentu yang menyangkut perasaan. Rasa gembira yang amat sangat atau pengharapan ataupun ketika keduanya berpaling menjadi kekesalan atau bahkan kesedihan mendalam sekalipun menjadi tak terlupakan. Sekalipun berhasil memendamnya, sentilan kecil yang kembali menimbulkannya kepermukaan mampu menguras perasaan yang sama.
Namun, pakem ini tidak berlaku bagi seorang rekan saya. Kegagalan koneksi internet telah menghapus pesan elektronik yang hendak dikirimkannya pada rekan lain terhapus begitu saja. Padahal surat elektronik itu ditulisnya dari hati selama dua jam! Betapa kesalnya dia. Mungkin hal ini bukanlah masalah besar bagi orang lain. Namun, tidak demikian bagi individu yang sulit untuk mengungkapkan perasaannya seperti rekan saya ini.
Perasaan yang dipendam dapat meledak sewaktu-waktu. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan katarsis. Katarsis ini dapat bermacam-macam rupanya. Mulai dari sekedar bercerita, menulis diary, tertawa keras, memeluk seseorang, memukul atau meninju sesuatu, pergi meninggalkan lokasi, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan tertentu. Dengan melakukan katarsis, perasaan dapat tersalurkan dan emosi dapat kembali stabil. Dengan demikian individu yang bersangkutan dapat berpikir lebih tenang dan melanjutkan harinya.
Jika katarsis tertunda berbagai macam hal dapat terjadi. Sebagian individu yang tidak mampu sepenuhnya mengontrol perasaan bisa jadi tertekan. Efeknya pun bisa jadi panjang. Kini tinggal bagaimana kita memilih cara untuk katarsis.
Namun, pakem ini tidak berlaku bagi seorang rekan saya. Kegagalan koneksi internet telah menghapus pesan elektronik yang hendak dikirimkannya pada rekan lain terhapus begitu saja. Padahal surat elektronik itu ditulisnya dari hati selama dua jam! Betapa kesalnya dia. Mungkin hal ini bukanlah masalah besar bagi orang lain. Namun, tidak demikian bagi individu yang sulit untuk mengungkapkan perasaannya seperti rekan saya ini.
Perasaan yang dipendam dapat meledak sewaktu-waktu. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan katarsis. Katarsis ini dapat bermacam-macam rupanya. Mulai dari sekedar bercerita, menulis diary, tertawa keras, memeluk seseorang, memukul atau meninju sesuatu, pergi meninggalkan lokasi, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan tertentu. Dengan melakukan katarsis, perasaan dapat tersalurkan dan emosi dapat kembali stabil. Dengan demikian individu yang bersangkutan dapat berpikir lebih tenang dan melanjutkan harinya.
Jika katarsis tertunda berbagai macam hal dapat terjadi. Sebagian individu yang tidak mampu sepenuhnya mengontrol perasaan bisa jadi tertekan. Efeknya pun bisa jadi panjang. Kini tinggal bagaimana kita memilih cara untuk katarsis.
Thursday, April 19, 2007
Kentut
Tulisan lama yang baru kini mendapat giliran dipublikasi hehehe...
1639-1836/0780805
Kentut
Siapa tak suka kentut? Kau? Aku suka. Kentut itu nikmat. Bayangkan bila sehari saja kau tak bisa kentut. Duh, sengsaranya... . Perutmu buncit, keras, hampir meledak rasanya. Begitu kentutmu melintasi ambangnya..hm...kau pun kan bernapas lega. Tidak percaya? Cobalah tahan kentutmu sepanjang hari bila kau kuat. Kurang kerjaan katamu? Katanya kau butuh bukti... .
Pagi ini kentut mengawali hariku sekaligus membantuku menghindar dari dosen yang kubenci. Pasalnya? Aku kentut di ruang kuliah. Mulanya dosen masuk dan membagikan hasil ujian tengah semester kemarin. Melihat nilai yang tertera di kertas ujianku, perut terasa mual seakan ada yang masuk dan dugem di dalamnya. Sedetik kemudian aku kentut. Tanpa suara tentunya. Aku sudah berlatih belasan tahun untuk dapat kentut tanpa suara. Ekspresi mukapun sudah kulatih dengan tekun. Begitulah kentutku yang pertama hari itu mengudara. Bayangkan saja ruangan 4x5m dipenuhi dinginnya penyejuk udara beraroma kentut. Tanpa menunggu lebih lama, dosen segera membubarkan kelas.
“Absensinya bagaimana, pak?” tanya seorang rekan mahasiswa berteriak.
“Sudah semua,” jawabnya balas berteriak, mengacungkan amplop cokelat berisi kertas-kertas ujian kami, sambil terus berjalan cepat menuju ruang dosen. Maksudnya tentu bila mahasiswa itu hadir, berkas ujiannya sudah berpindah tangan. Dari situlah absensi dilakukan.
Aku, sebagaimana mahasiswa malas lainnya bersorak senang punya waktu luang tambahan selama dua jam. Sebagian lainnya sibuk bertanya,
“Masak hanya karena seorang kentut saja perkuliahan harus dibubarkan? Lantas, untuk apa datang pagi-pagi? Untuk apa bayar uang kuliah? Huh...”. Ya...benar juga, mengapa bisa semudah itu membubarkan kuliah? Belakangan aku tahu, ternyata pagi itu dosen tersebut juga kentut di ruang kuliah, mungkin bersamaan denganku. Dengar-dengar lagi,pagi itu sang dosen sarapan semur jengkol. Pantas ia membubarkan kelas begitu saja, malu bila tersebar bahwa kentutnya begitu memabukkan. Sebuah keberuntungan bagiku, tak perlu mengaku dan menanggung malu atas kentutku. Ha ha ha... .
Bingung hendak kemana, kuayunkan kaki menuju kantin dan memesan semangkuk mie ayam. Kantin terasa lengang, tentu saja, sementara sebagian besar mahasiswa masih berusaha menahan kantuk mendengar dosen berceramah. Tak sampai lima menit semangkok mie ayam tersaji di hadapan.
Melihat potongan ayam yang bertaburan di atas mie, aku teringat pesan teman-teman beberapa waktu lalu. Jangan makan ayam! Flu burung! Apa lagi flu burung jelas-jelas sudah menelan korban di daerah tempat tinggalmu! Betapa perhatiannya teman-temanku itu. Memang, aku tinggal bersama keluargaku di daerah Serpong yang sempat heboh dengan kasus flu burung. Rumahku hanya berselang beberapa gang saja dari rumah korban, bahkan.
Namun, rupanya aku masih tak dapat melepaskan kenikmatan makan ayam. Apakah aku tak takut mati? Lantas apa yang aman untuk dimakan? Daging sapi dengan resiko anthrax? Daging babi dengan cacingnya? Kambing dengan kolesterolnya? Sayur-sayuran dengan pestisidanya? Aku memilih bernyanyi, “sudah biarkan aja..” dan tetap makan semuanya.
Pedasnya mie membentuk bulir-bulir keringat memenuhi dahi. Sambal yang sama tampaknya juga menaikkan suhu di perutku dan merangsang sensasi kentut.. Tak ubah balon yang ditiup, udara mengembang yang memenuhi perutku memaksa untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Sedetik kemudian, sekelompok mahasiswa putri yang baru saja bergabung di meja yang kutempati beberapa menit yang laluberanjak bangkit dari duduknya dan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tangan mereka tampak kewalahan mengumpulkan barang-barang milik sambil berusaha menghalau aroma kentut dari lubang hidung. Aku hanya tersenyum dalam hati. Hidung berairku secara otomatis mencegah kentut yang telah kukeluarkan kembali masuk dalam tubuh lewat sistem pernapasan. Sayang juga, pemandangan indah berlalu dari hadapan. Namun, tetap, sensasi kentut lebih memuaskan.
Setelah menandaskan mangkok mie dan membayarnya, kaki kulangkahkan menuju perpustakaan. Kantuk mulai menyerang seiring penuhnya perut dan udara yang semakin panas. Sejuknya ruang perpustakaan sungguh tepat menjawab keinginanku untuk terlelap, bila saja aku diberi sedikit ruang untuk duduk di sofa tengah yang kini terisi pebuh atau sedikit waktu untuk menempelkan kepala di meja. Baru saja mata terpejam dan mulut membuka lebar, sebuah buku setebal hampir lima centi singgah di kepala.
“Duh, kira-kira dunks..sakit niey...klo benjol gimana,” semprotku manja. Manja? Ya, manja. Oh ya, belum kukatakan, aku tengah menekuni seni peran dan bergabung dengan teater kampus. Peran yang akan kubawakan pada pentas berikut adalah seorang waria. Jadi, jangan heran bila kau berpapasan denganku di koridor kampus, aku bertingkah ‘aneh’.
“Geuleuh pisan[1]..hi..,” sahut temanku bergidik.
“Udah lah..mulai aja yuks..sejam lagi gw ada rapat,” timpal yang lain. Jadilah pagi menjelang siang itu kami berkutat denganfaktur, jurnal, neraca, saldo, dan tetek bengek-nya. Sekian menit berlalu. Rupanya efek sambal mie tadi ditambah cemilan semalam, biji beton[2], masih terasa. Aku pun mengeluarkan kentut yang ketiga di hari itu. Hasilnya? Bisa ditebak. Pengguna perpustakaan langsung semaput, tak terkecuali petugas-petugasnya. Seheboh itukah? Hehehe..tidak segitunya...minimal teman-teman belajarku langsung mengibaskan tangan berusaha menjauhkan aroma kentut dari diri mereka.
Apa katamu? Aku terkesan bangga dengan kentutku? Oh, tentu...berkat kentutku kami dijauhi nyamuk, semut, dan serangga lainnya ketika kemping dalam rangka ospek fakultas. Tentu saja waktu itu tak seorangpun tahu akulah yang kentut. Bagaimana caranya? Aku tidak akan mengatakannya padamu. Nanti kamu menyontek caraku. Ingat, hak cipta dilindungi undang-undang.
Kau sebal padaku? Karena aku suka kentut? Hei, aku tidak selalu kentut sembarangan. Kentut itu ada seninya. Dan kalau kau berbicara dari sudut pandang medis, kentut itu baik. Tahukah kau amanat para dokter pada pasiennya yang baru saja menempuh operasi? Yups, jangan makan apapun sebelum bisa kentut. Ha...betul kan..?
Kisah kentut ini sebenarnya masih dapat dijabarkan panjang lebar. Namun, melihat mukamu yang hijau kebiruan itu, lebih baik kusudahi dahulu cerita ini. Dan, satu saran dariku, kentutlah, kau akan merasa lebih baik.
[1]Sunda: menggelikan sekali
[2] biji nangka yang dimasak dan dikonsumsi sebagai makanan ringan
1639-1836/0780805
Kentut
Siapa tak suka kentut? Kau? Aku suka. Kentut itu nikmat. Bayangkan bila sehari saja kau tak bisa kentut. Duh, sengsaranya... . Perutmu buncit, keras, hampir meledak rasanya. Begitu kentutmu melintasi ambangnya..hm...kau pun kan bernapas lega. Tidak percaya? Cobalah tahan kentutmu sepanjang hari bila kau kuat. Kurang kerjaan katamu? Katanya kau butuh bukti... .
Pagi ini kentut mengawali hariku sekaligus membantuku menghindar dari dosen yang kubenci. Pasalnya? Aku kentut di ruang kuliah. Mulanya dosen masuk dan membagikan hasil ujian tengah semester kemarin. Melihat nilai yang tertera di kertas ujianku, perut terasa mual seakan ada yang masuk dan dugem di dalamnya. Sedetik kemudian aku kentut. Tanpa suara tentunya. Aku sudah berlatih belasan tahun untuk dapat kentut tanpa suara. Ekspresi mukapun sudah kulatih dengan tekun. Begitulah kentutku yang pertama hari itu mengudara. Bayangkan saja ruangan 4x5m dipenuhi dinginnya penyejuk udara beraroma kentut. Tanpa menunggu lebih lama, dosen segera membubarkan kelas.
“Absensinya bagaimana, pak?” tanya seorang rekan mahasiswa berteriak.
“Sudah semua,” jawabnya balas berteriak, mengacungkan amplop cokelat berisi kertas-kertas ujian kami, sambil terus berjalan cepat menuju ruang dosen. Maksudnya tentu bila mahasiswa itu hadir, berkas ujiannya sudah berpindah tangan. Dari situlah absensi dilakukan.
Aku, sebagaimana mahasiswa malas lainnya bersorak senang punya waktu luang tambahan selama dua jam. Sebagian lainnya sibuk bertanya,
“Masak hanya karena seorang kentut saja perkuliahan harus dibubarkan? Lantas, untuk apa datang pagi-pagi? Untuk apa bayar uang kuliah? Huh...”. Ya...benar juga, mengapa bisa semudah itu membubarkan kuliah? Belakangan aku tahu, ternyata pagi itu dosen tersebut juga kentut di ruang kuliah, mungkin bersamaan denganku. Dengar-dengar lagi,pagi itu sang dosen sarapan semur jengkol. Pantas ia membubarkan kelas begitu saja, malu bila tersebar bahwa kentutnya begitu memabukkan. Sebuah keberuntungan bagiku, tak perlu mengaku dan menanggung malu atas kentutku. Ha ha ha... .
Bingung hendak kemana, kuayunkan kaki menuju kantin dan memesan semangkuk mie ayam. Kantin terasa lengang, tentu saja, sementara sebagian besar mahasiswa masih berusaha menahan kantuk mendengar dosen berceramah. Tak sampai lima menit semangkok mie ayam tersaji di hadapan.
Melihat potongan ayam yang bertaburan di atas mie, aku teringat pesan teman-teman beberapa waktu lalu. Jangan makan ayam! Flu burung! Apa lagi flu burung jelas-jelas sudah menelan korban di daerah tempat tinggalmu! Betapa perhatiannya teman-temanku itu. Memang, aku tinggal bersama keluargaku di daerah Serpong yang sempat heboh dengan kasus flu burung. Rumahku hanya berselang beberapa gang saja dari rumah korban, bahkan.
Namun, rupanya aku masih tak dapat melepaskan kenikmatan makan ayam. Apakah aku tak takut mati? Lantas apa yang aman untuk dimakan? Daging sapi dengan resiko anthrax? Daging babi dengan cacingnya? Kambing dengan kolesterolnya? Sayur-sayuran dengan pestisidanya? Aku memilih bernyanyi, “sudah biarkan aja..” dan tetap makan semuanya.
Pedasnya mie membentuk bulir-bulir keringat memenuhi dahi. Sambal yang sama tampaknya juga menaikkan suhu di perutku dan merangsang sensasi kentut.. Tak ubah balon yang ditiup, udara mengembang yang memenuhi perutku memaksa untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Sedetik kemudian, sekelompok mahasiswa putri yang baru saja bergabung di meja yang kutempati beberapa menit yang laluberanjak bangkit dari duduknya dan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tangan mereka tampak kewalahan mengumpulkan barang-barang milik sambil berusaha menghalau aroma kentut dari lubang hidung. Aku hanya tersenyum dalam hati. Hidung berairku secara otomatis mencegah kentut yang telah kukeluarkan kembali masuk dalam tubuh lewat sistem pernapasan. Sayang juga, pemandangan indah berlalu dari hadapan. Namun, tetap, sensasi kentut lebih memuaskan.
Setelah menandaskan mangkok mie dan membayarnya, kaki kulangkahkan menuju perpustakaan. Kantuk mulai menyerang seiring penuhnya perut dan udara yang semakin panas. Sejuknya ruang perpustakaan sungguh tepat menjawab keinginanku untuk terlelap, bila saja aku diberi sedikit ruang untuk duduk di sofa tengah yang kini terisi pebuh atau sedikit waktu untuk menempelkan kepala di meja. Baru saja mata terpejam dan mulut membuka lebar, sebuah buku setebal hampir lima centi singgah di kepala.
“Duh, kira-kira dunks..sakit niey...klo benjol gimana,” semprotku manja. Manja? Ya, manja. Oh ya, belum kukatakan, aku tengah menekuni seni peran dan bergabung dengan teater kampus. Peran yang akan kubawakan pada pentas berikut adalah seorang waria. Jadi, jangan heran bila kau berpapasan denganku di koridor kampus, aku bertingkah ‘aneh’.
“Geuleuh pisan[1]..hi..,” sahut temanku bergidik.
“Udah lah..mulai aja yuks..sejam lagi gw ada rapat,” timpal yang lain. Jadilah pagi menjelang siang itu kami berkutat denganfaktur, jurnal, neraca, saldo, dan tetek bengek-nya. Sekian menit berlalu. Rupanya efek sambal mie tadi ditambah cemilan semalam, biji beton[2], masih terasa. Aku pun mengeluarkan kentut yang ketiga di hari itu. Hasilnya? Bisa ditebak. Pengguna perpustakaan langsung semaput, tak terkecuali petugas-petugasnya. Seheboh itukah? Hehehe..tidak segitunya...minimal teman-teman belajarku langsung mengibaskan tangan berusaha menjauhkan aroma kentut dari diri mereka.
Apa katamu? Aku terkesan bangga dengan kentutku? Oh, tentu...berkat kentutku kami dijauhi nyamuk, semut, dan serangga lainnya ketika kemping dalam rangka ospek fakultas. Tentu saja waktu itu tak seorangpun tahu akulah yang kentut. Bagaimana caranya? Aku tidak akan mengatakannya padamu. Nanti kamu menyontek caraku. Ingat, hak cipta dilindungi undang-undang.
Kau sebal padaku? Karena aku suka kentut? Hei, aku tidak selalu kentut sembarangan. Kentut itu ada seninya. Dan kalau kau berbicara dari sudut pandang medis, kentut itu baik. Tahukah kau amanat para dokter pada pasiennya yang baru saja menempuh operasi? Yups, jangan makan apapun sebelum bisa kentut. Ha...betul kan..?
Kisah kentut ini sebenarnya masih dapat dijabarkan panjang lebar. Namun, melihat mukamu yang hijau kebiruan itu, lebih baik kusudahi dahulu cerita ini. Dan, satu saran dariku, kentutlah, kau akan merasa lebih baik.
[1]Sunda: menggelikan sekali
[2] biji nangka yang dimasak dan dikonsumsi sebagai makanan ringan
Gaptek
Akhirnya hari ini saya berhasil juga memasukan tulisan dalam "body post" ini. Sebelumnya berkali-kali mencoba, yang berhasil ditampilkan hanya judulnya saja. Saya masih ingin ngulik blogger ini dan menambahkan pernak-pernik lucu. sayangnya, beberapa kali mencoba, tapi belum berhasil! Hahaha... Ada yang bisa membantu? Ada yang punya cukup waktu dan tenaga menghadapi ke-gaptek-anku? Hehehe...
Seorang teman juga menyebut-nyebut soal "portal". Mahluk apa lagi itu? Portal yang saya tahu hanyalah nama rumah makan favorit kami semasa sekolah: Bakmi Portal yang lokasinya dekat sekolah.
Seorang teman juga menyebut-nyebut soal "portal". Mahluk apa lagi itu? Portal yang saya tahu hanyalah nama rumah makan favorit kami semasa sekolah: Bakmi Portal yang lokasinya dekat sekolah.
Di Luar Lingkaran
Segala sesuatunya akan tampak lebih sederhana dan mudah dimengerti ketika kita berada di luar masalah. Pengamat yang tidak terlibat secara emosional akan dapat lebih berpikir jernih ketimbang di pelaku. Mudah rasanya berkata ”jangan libatkan emosi” ketika kita menasehati klien. Namun, ketika kita sendiri yang menghadapinya emosi seolah tak terbendung.
Sunday, March 11, 2007
Self Role
Wag the Dog. Itu judul film yang diputar di HBO minggu malam lalu. Menonton film itu saya jadi agak kesal dengan industri perfilman. Presiden dan kondisi negara diatur sedemikian rupa agar tampak heroik demi pengumpulan suara menjelang pemilu untuk mempertahankan status quo. Sang sutradara (dibintangi Dustin Hoffman) mengonstruksi jalannya kondisi yang ada tak ubahnya sebuah film yang tengah disutradarainya. Bagaimana mungkin presiden takluk pada sutradara? Semudah itukah? Saya teringat lirik lagu yang populer diawal tahun 90-an. ”Dunia ini panggung sandiwara.” Di setiap kesempatan selalu saja ada orang-orang tertentu yang menyetir jalannya peristiwa sementara orang-orang lain mengikuti alur naskah yang ditulisnya. Improviasi bisa saja dilakukan, tapi tetap seijin sutradara dan produser. Sadar tidak sadar, mau tidak mau menyadari dan mengakui, itulah yang terjadi. Untuk memperoleh nilai baik di sekolah atau predikat sebagai murid baik bahkan murid teladan, selain bermodal otak, kita harus pintar-pintar mengambil hati para pengajar. Begitu juga di bangku kuliah. Untuk mendapatkan posisi di senat mahasiswa atau organisasi lainnya, kita harus dapat memenuhi tuntutan pihak-pihak tertentu. Entah pihak mahasiswa ataupun pihak universitas. Tuntutan itu termasuk bagaimana cara kita bersikap dan berperilaku. Bahkan cara berpikir. Hal yang sama terjadi di dunia karir. Promosi jabatan akan lebih mudah diperoleh jika kita dapat memainkan peran dengan baik, menjadi karakter individu yang diinginkan atasan. Dengan kata lain, bermain peran. Permainan peran itu kerap disamarkan dengan kata profesionalisme. Sebenarnya apa arti kata profesional? Tak jauh dari melakukan spesifikasi pekerjaannya dengan tepat, berlaku dan bertindak sesuai dengan karakter dari peran yang dimainkan. Namun, kadang kita menggunakan kata profesionalisme tersebut untuk menutupi kelemahan diri. Kadang kita berupaya sedapat mungkin mematikan pikiran dan perasaan untuk dapat memaikan peran sesempurna mungkin seolah tidak ada hal buruk yang terjadi. Ketika perselisihan terjadi, kita berupaya menampilkan diri tetap ceria dan ramah meski selepas itu mengutuki habis-habisan orang tertentu. Bukannya menyelesaikan persoalan, malah lari dari masalah dan berkata, ”Saya hanya bersikap profesional”. Itukah profesional. Memang, pada dasarnya diri manusia tidak dapat dipisahkan dari perannya. Ada lima komponen dalam konsep diri manusia, yakni gambaran diri (body image), harga diri (self esteem), identitas diri (self identity), ideal diri, dan peran diri (self role). Peran diri inilah yang dijalankan manusia sepanjang rentang kehidupan. Sejak kecil ia memainkan peran sebagai anak, sebagai kakak atau adik. Lantas mulai berkembang, selain sebagai seorang anak, individu yang ama juga dapat berperan sebagai seorang teman, seorang murid, seorang anggota tim olah raga, atau apapun peran lain yang dimainkannya.
Kelihaian individu bermain peran menentukan pula kesuksesannya bertahan hidup. Orang yang gagal memainkan perannya akan dibuang. Bahkan dalam pembuangannya itu ia tetap harus bermain peran menjadi orang buangan. Peran itu baru akan berakhir jika sang sutradara agung berkata ”that’s a rub” dan organ-organ vital berhenti berdenyut.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan betapa setiap manusia dibentuk menjadi aktor dan aktris kawakan. Untuk para aktor dan aktris yang telah menjadi selebriti, harap waspada. Lahan Anda dapat dibajak!
Kelihaian individu bermain peran menentukan pula kesuksesannya bertahan hidup. Orang yang gagal memainkan perannya akan dibuang. Bahkan dalam pembuangannya itu ia tetap harus bermain peran menjadi orang buangan. Peran itu baru akan berakhir jika sang sutradara agung berkata ”that’s a rub” dan organ-organ vital berhenti berdenyut.
Akhirnya saya sampai pada kesimpulan betapa setiap manusia dibentuk menjadi aktor dan aktris kawakan. Untuk para aktor dan aktris yang telah menjadi selebriti, harap waspada. Lahan Anda dapat dibajak!
Wednesday, March 7, 2007
Cermin
Kawanku/30/2004
Di bawah tangisan langit aku melangkah diam dalam keheninganku. Entah mengapa aku merasa begitu sepi di tengah kesibukkan kota ini. Orang-orang sibuk lalu-lalang di sekitarku, berjalan melewatiku begitu saja. Dan akupun melangkah diam di sana. Samar-samar sepertinya aku mendengar kalimat yang tak asing lagi di telingaku. Kuhentikan langkahku dan melihat sekitarku. “Aih…lucu banget! Kalo gw yang pake cocok gak ya? Mau donk! Beli dimana lo? Kembaran yuk!” Sungguh, kalimat yang membuatku amat muak! Aku sempat berpikir, “asyik juga kalau sekali-kali ‘kembaran’ dengan seseorang yang mungkin saja akan menjadi sahabatku, seorang teman dekat yang senasib sepenanggunggan”. Akan tetapi, bila kalimat itu terlontar dari bibir Vannie, lain lagi ceritanya.
* * *
“Sa, si Ella kenapa sich?”
“Kenapa bagaimana?”
“Tau tuh, tumben-tumbenan dia nggak mau gue ajak makan. Lo tau sendirikan, tu anak nggak pernah nolak yang namanya makanan,” cerita Vannie menggebu-gebu.
“Dia baru makan kali,” jawabku asal tanpa melepaskan pandangan dari majalah di tanganku. Vannie tidak puas dengan jawabanku. Vannie berharap mendapat jawaban yang dapat memuaskan rasa ingin tahunya dariku, Sa, teman dekatnya yang akhir-akhir ini cukup akrab dengan Ella.
“Tapi dia ngomongnya nggak enak banget tadi. Pengen gue tonjok tu anak!” lanjut Vannie berapi-api. Rupa-rupanya suasana hati Vannie sepanas udara hari itu. Pagi-pagi buta matahari sudah tampak dan siang itu sinar panasnya amat menyilaukan. Untung saja tidak ada Joe di sana. Pantulan sinar mentari di kepalanya yang licin mungkin dapat membutakan mata.
“Ya udah, biarin aja, ntar juga dia cerita sendiri,” sahutku ringan masih dengan majalah yang menyembunyikan wajahku dari tatapannya. Vannie yang semakin kesal mendengar tanggapanku segera beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkanku duduk seorang diri di bawah pohon di lapangan parkir sekolah.
“Oh ya, Sa, kemaren gue baru beli baju kayak punya lo yang ada gambar Tazmanianya. Warna cokelat juga lho! Gue cari yang cokelat tua kayak punya lo tapi ga ada. Jadi gue beli yang agak terang aja,” cerocosnya riang sambil terus berlalu.
Sepeninggal Vannie, aku masih asyik melahap habis sebuah artikel yang tertulis dalam majalah di tanganku. Entah apa judul artikel itu, tapi yang pasti, isi artikel itu amat menarik, lebih menarik daripada ocehan Vannie. Begitu tekunnya aku membaca sampai-sampai aku tidak mendengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekatiku padahal biasanya pendengaranku setajam kelinci. Orang itu telah berdiri diam tepat di hadapanku, menungguku menyadari kehadirannya. Merasa ada seseorang di dekatku akupun berujar,
“Udahlah, ngga perlu dipikirin lagi, nanti juga cerita.”
“Emang gue mikirin apa, Sa?” Aku tersentak kaget dan menyingkirkan majalah dari pandanganku. Sosok seorang pemuda tegap kini terlihat jelas di mataku, Paco, salah satu teman seperjalanan pulangku.
“Welcome back, Sa! Lo kira gue siapa? Gue cuma mo tanya, lo ikut pulang bareng gue nggak? Kalau enggak gue tinggal, nich! Joe ga jadi pulang bareng kita,” kata Paco sambil berlalu.
“Woi! Tungguin gue donk! Gue kan mo ikut pulang bareng biar elo yang bayarin ongkos angkot gue. Lumayan kan… ngirit.” Sa bergegas menyambar ranselnya dan berlari menyusul Paco. Majalah itu dibiarkannya berkibar-kibar di tangannya.
“Eh, Sa, kembaran lo kenapa tuh? Tampangnya sewot banget.”
“Kembaran gue? Sejak kapan gue punya kembaran?” sahutku pura-pura tidak mengenali orang yang dibicarakannya karena kini aku enggan memiliki kembaran.
“Lho, Vannie? Bukannya dia kembaran elo? Elo kan kompak banget sama dia. Baju aja sering sama,” kata Paco dengan ekspresi bingungnya yang lucu. Memang, di sekolah aku dan Vannie sering terlihat bersama. Tak jarang pula kami bermain bersama ataupun menghadiri suatu acara bersama. Akan tetapi, bukan itu yang membuat kami dianggap kembar. Fisik kami jauh berbeda. Vannie tinggi dan aku biasa saja. Kulit Vannie agak kecoklatan terbakar matahari dan raut wajahnya sungguh mencerminkan ciri-ciri orang Jawa sejati. Sementara aku, menurut pandangan teman-temanku, mirip Miss Universe. Hanya saja aku terperangkap di kota ini sementara Miss Universe bebas mengunjungi seluruh dunia.
Anggapan bahwa Vannie adalah kembaranku bermula dari kejadian di awal tahun pelajaran ini. Di sekolah kami ada kebijakan bahwa siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas di hari Sabtu. Waktu itu aku pergi ke sekolah mengenakan kemeja biru dan celana jins kebanggaanku. Semua bukuku telah tertata rapi dalam ransel biru baruku. Aku melangkah ringan sepanjang koridor menuju kelas. Namun, langkahku tertahan di ambang pintu kelas. Dari arah yang berlawanan seorang gadis melangkahkan kakinya ke arahku. Aku tercekat. Bagaimana tidak, penampilannya serupa denganku. Kemeja birunya, celana jinsnya, dan ransel di pundaknya benar-benar serupa dengan yang kupakai. Kulihat ia pun menghentikan langkahnya dan menatapku lekat-lekat. Kurasakan tubuhku melemas. Bagaimana mungkin seorang gadis di sekolahku berpenampilan sama persis denganku? Aku melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Celaka! Sudah tidak ada waktu lagi untuk pulang dan bertukar pakaian. Tampaknya gadis itu pun memikirkan dan melakukan hal yang sama. Bedanya, ia melirik jam miliknya yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Berpasang-pasang mata yang tertuju pada kami itu menatap heran, tak habis pikir. Pandangan itu beralih silih berganti menatapku dan anak baru itu dan serentak, tanpa komando, mereka berseru,
“Kembar ni ye...!” Aku tak dapat berkata sepatah katapun. Tanpa sadar, aku mengacak rambut yang telah tertata rapi di kepalaku. Anak baru itu menyandang sebuah nama yang manis, Vannie. Sejak saat itulah kami disebut kembaran.
Sebuah nama yang manis tidak selalu berarti si empunya nama tersebut juga berkepribadian menarik. Sejak kejadian itu kami memang menjadi dekat. Kami pun beranggapan bahwa mungkin mengasyikkan memiliki seorang “kembaran”. Dalam beberapa kesempatan kami mengenakan atribut yang mirip, tapi tidak sama persis. Aku tampil dengan gaya tomboiku sendiri dan Vannie dengan gaya femininnya.
Namun, lama kelamaan aku merasa tidak lagi bebas. Selalu ada Vannie yang membayang-bayangiku. Makin lama Vannie makin berani. Ia mulai meniru gayaku berpakaian, menggunakan kosmetika yang sama, bahkan memakai sabun yang sama denganku. Aku tak habis pikir melihat ulahnya. Segala hal yang menurutku baik, segala hal yang kuanggap cocok untuk diriku dianggapnya cocok pula untuk dirinya, sekalipun tidak semuanya cocok pada dirinya. “Tidak semua hal yang baik untuk seseorang juga baik untuk orang lain”. Sepertinya Vannie telah melupakan pepatah itu.
“Woi! Sa! Bengong aja! Bangun, Sa, bangun! Napa sich lo hari ini? Dari tadi bengong mulu.” Teriakan Paco di telingaku membawaku kembali dari ingatan masa lampau, tepatnya setahun yang lalu.
“Lo kalau jalan sambil bengong gitu ntar ketabrak mobil, kan gue yang repot!” sungutnya kesal.
“Biarin aja! Elo ini yang repot, bukan gue!”
“Tu kan, ini anak kalau dibilangin...ngeyel!”
“Iya, iya, elo gitu aja pake sewot segala! Elo juga sich pake nyebut-nyebut si Vannie kembaran gue segala lagi. Loe kan tau gue nggak pernah mimpi punya kembaran kayak dia!”
“Woi, woi! Sabar, mbak, becanda doank, sorry, sorry!” Kupercepat langkahku meninggalkan Paco yang masih sibuk terbengong-bengong menatap heran kelakuanku hari itu. Kudengar Paco mengumpat-umpat sambil sesekali meneriakkan namaku agar aku menunggunya. Aku semakin cepat melangkah dan mulai berlari menuju rumahku di ujung jalan itu.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri ke atas kasur empuk, dan kupeluk bantal kesayanganku. Ingin rasanya kubanting pintu di belakangku keras-kerang, bang! Akan tetapi, kuurungkan niatku mengingat ceramah berkepanjangan yang akan terpaksa kudengarkan bila suara bantingan itu terdengar hingga ke ujung dunia. Ingin rasanya kujatuhkan deretan lilin harum yang berjajar rapi di atas meja kecilku. Muak rasanya membayangkan Vannie menata meja riasnya dengan koleksi lilin yang sama denganku. Muak rasanya membayangkan dia menghirup aroma yang sama dari wewangian yang sama yang kuhembuskan ke seluruh tubuhku yang juga digunakannya kini. Bosan rasanya aku melihatnya selalu menirukan gerak-gerik dan perkataanku di setiap suasana. Aneh rasanya melihat seseorang begitu ingin menjadi diriku sementara aku sendiri terkadang merasa tidak nyaman dengan diriku. Seseorang yang selalu membeli barang yang kubeli, seseorang yang selalu memakai barang-barang yang sama denganku, seseorang yang memaksa diri mengkonsumsi makanan yang kusuka meski sering kali lambungnya menolak, seseorang yang membuatku tidak nyaman menjadi diriku sendiri. Sungguh copy-cat! Anehnya, ia begitu bangga dengan dirinya ini meski dengan demikian ia kehilangan identitas dirinya. Ia bagaikan bayanganku dengan pribadi dasar yang berbeda. Ia tak ubahnya tiruanku dengan pribadi yang palsu, imitasi. Vannie yang palsu, Sa imitasi. Namun, ia bangga dengan semua itu.
Cukup sudah! Lelah aku dengan semua ini! Kutanggalkan seragam sekolahku ini, kukenakan pakaian kebesaranku, kaos oblong dan celana jins sobek, dan segera angkat kaki dari rumah. Cuaca di luar sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Butiran-butiran air hujan membasahi sekujur tubuhku. Pandanganku mula kabur. Namun, aku terus melangkah, tanpa arah, entah kemana.
Genangan air hujan di bawah telapak kakiku seolah berputar membentuk suatu bayangan. Awalnya hanya kabut saja. Lama-kelamaan seuntas peristiwa seolah tergambar di sana. Peristiwa yang masih melekat erat dalam benakku. Bulan Desember yang lalu Vannie memberiku sebuah kartu natal. Di dalamnya tertulis kata-kata ini: “Semoga persahabatan kita kekal selamanya”. Kartu itu cukup manis bila saja yang tertulis di sana bukanlah kata-kata tersebut. Tidak, aku tak pernah menganggapnya seorang sahabat. Aku dan Vannie tak lebih dari seorang teman dekat! Seorang sahabat takkan pernah berusaha mati-matian meniru, mengimitasi, memalsu sahabatnya sendiri. Seorang sahabat akan turut senang, turut bangga bila sahabatnya memperoleh sesuatu yang baik bukannya iri atas segala yang diraih sang sahabat.
Segera saja kuinjak genangan air itu agar bayangan itu segera berlalu dari hadapanku. Akupun melangkah kembali melanjutkan perjalanku entah kemana. Kupalingkan wajahku dari jalanan yang penuh genangan air. Kutakut bayangan itu muncul kembali.
Di sudut mataku tertangkap sekilas bayangan sekelompok anak yang tengah mencuri-curi lihat melalui jendela sebuah toko kue yang terbuka. Tak terasa sebuah senyum tersungging, menarik sudut-sudut bibirku. Kubayangkan akulah yang berada di sana dengan Vannie di sampingku. Kuingat betapa sulitnya menahan air liur yang mendesak keluar dari mulut kami mencium sedapnya aroma pai lemon hangat yang matang. Seketika itu kami lekas-lekas melenyapkan diri dari pandangan koki yang sibuk mengeluarkan pai dari panggangan dan meletakkannya di jendela hingga pai itu cukup hangat untuk disantap. Setelah pai berada di tempatnya, biasanya kami saling bertukar pandang dan tesenyum nakal. Telinga kami dipasang tajam-tajam. Langkah dan suara sumbang koki tak lagi terdengar. “Aman. Siap? Pai lemon hangat, kami datang!” seru kami serentak. Pai lemon lenyap dan kami sibuk berlari menyelamatkan diri dari kejaran koki yang murka. Di bawah sebatang pohon apel tua yang rindang kami duduk menikmati pai lemon hasil rampasan sambil tertawa riang. Hangatnya pai lemon itu sehangat hubungan kami. Sungguh saat-saat yang menyenangkan.
Pandanganku beralih pada kaca-kaca etalase toko yang berderet rapi di sepanjang jalan. Di balik kaca-kaca itu tertata benda-benda imut nan cantik. Benda-benda itu kering dan hangat sementara aku masih berjalan tak tentu arah di bawah derasnya siraman hujan, basah dan kedinginan. Kaca itu basah. Butiran-butian air mengalir turun di atasnya. Butiran-butiran itu mengingatkanku pada butir-butir air mata yang pernah mengalir di pipiku. Sebutir mengalir turun, bersatu dengan yang lainnya dan bersama-sama terjatuh ke jalanan. Namun, butir-butir itu tidak sendiri. Mereka memang terjatuh, tapi tidak sendiri. Ada genangan air empuk yang siap menopang butiran-butiran yang terjatuh.
Sebutir mengalir di pipiku yang basah. Hangat, namun begitu hampa, begitu pedih. Sebuah nama terlintas dalam benakku, Vannie. “Lagi-lagi Vannie!” kataku membatin. Sebutir mengalir di pipiku. Butiran yang membawa jatuh perasaan gembira. Butiran yang sama yang pernah mengalir di pipiku waktu itu. Butiran yang mengalir karena Vannie.
Vannie ingin aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun, tindakannya saat itu masih terpeta jelas di benakku. Butiran itu dapat bercerita banyak tentang perasaanku saat itu. Dalam butiran itu termuat segala rasa sakit saat kutahu bahwa ia mempermainkan perasaan teman sepermainanku sejak kecil. Dalam butiran itu termuat rasa sedihku saat ia berkata,
“Sa, kemaren gue chatting sama Paco. Ternyata nggak cuma luarnya doank yang imut! Dia baik banget sama gue. Gue jadi sayang sama dia.” Mendengar itu, bagai tersambar petir, aku hanya bisa terpaku, diam seribu bahasa. Aku yakin Vannie mengerti betul posisi Paco. Rupa-rupanya kalimat itu saja belum cukup. Ia kembali membuka mulutnya dan katanya lagi,
“Sa, Paco buat gue aja ya…. Lo kan cantik, seksi banget pula. Ngga susah dech cari cowok baru. Lo tinggal pilih. Masih banyak yang ngantri lho…. Paco buat gue ya?!” Kurasakan wajahku begitu panas membara. Api amarah membakar seluruh jiwaku. Nammun, tiada kata dapat terucap. Kupalingkan wajahku. Sebutir mengalir jatuh. Aku tidak ingin Vannie melihat itu. Aku tak ingin mendengarnya tertawa senang. Dalam butiran itu juga termuat amarahku saat kutahu bahwa ia menginginkan segala yang kumiliki, bahwa ia ingin merebut semua itu dari tanganku. Vannie ingin menjadi seorang Sa.
Vannie ingin aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun, aku tidak bisa melakukan hal itu. Di mataku Vannie tak lebih dari seorang teman dekat, teman berbagi gosip dan tawa. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi sering kali ia menyakitiku.
Kata orang perselisihan dalam pertemanan itu wajar. Kata mereka saling menyakiti dalam sebuah persahabatan itu sudah biasa. Kata mereka pula persahabatan berarti saling memiliki, milikmu adalah milikku, milikku adalah milikku, bukan milikmu. Tidak! Bukan persahabatan seperti itu yang kuinginkan. Sahabat bukanlah ia yang seringkali menyakitimu dan ia menyadari perbuatannya. Sahabat bukanlah ia yang selalu menginginkan dan mengambil segala milikmu. Seorang sahabat adalah ia yang akan membantumu bangkit dari keterpurukkanmu, bukanlah ia yang tertawa di atas penderitaanmu. Seorang sahabat adalah ia yang senantiasa mendorongmu maju, bukan ia yang berusaha keras menyurutkan niat baikmu. Sahabat adalah ia yang peduli padamu, tapi tidak posesif. Seorang sahabat adalah ia yang memberikanmu pilihan alternatif yang baik untukmu saat kau bimbang. Ia memberimu jalan keluar, tapi bukanlah seorang diktaktor.
Seorang sahabat adalah tempat kau dapat menemukan kejujuran. Sahabat adalah tempat kau dapat menemukan keterbukaan. Sahabat adalah tempat kau menemukan kenyataan. Pada Vannie tidak kutemukan kejujuran. Pada Vannie kutemukan kebohongan. Padanya kutemukan kemunafikkan. Ia menuntut agar aku terbuka padanya, tapi ia tak pernah mau terbuka terhadapku. Mungkin benar kata orang bahwa orang lain adalah cermin bagi kita. Namun, bagi Vannie, aku bukan hanya sebuah cermin yang menampilkan refleksi dirinya. Baginya, aku adalah seorang panutan yang wajib ditiru. Aku hanyalah cermin kemunafikkannya.
Sebutir lagi mengalri dan mengalir. Cepat kuseka wajahku, kuhapus air mata yang mengalir deras, bercampur dengan derai-derai hujan yang menerpa wajahku. Kuangkat kepala dan kuteruskan perjalanan dalam kesepian ini. Tiba-tiba saja secercah cahaya menyilaukan seolah membutakan mataku. Sesaat aku merasa melayang, begitu ringan, begitu damai.
Tunggu dulu! Untuk apa aku menyakiti perasaanku selama ini? Untuk apa membebani pikiranku dengan segala keberatanku akan Vannie? Bila aku adalah cermin baginya, mengapa aku tak pernah dapat menyadarkannya? Aku adalah Sa, cermin baginya untuk dapat mendapatkan kembali identitas dirinya. Yang perlu kulakukan hanyalah menjadi cermin penyadar baginya. Akan tetapi, bagaimana caranya? Teguran lembut diacuhkannya. Peringatan ringan tak didengarnya. Sindiran-sindiran tajam tak pernah diperhatikanya. Hanya satu yang kurasa, bosan.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku. Mungkin akan menjadi lebih baik jikalau kuhancurkan saja cermin itu. Tanpa cermin itu takkan ada lagi Vannie yang palsu. Tanpa cermin itu tak ada lagi Sa imitasi. Kupandangi sekeliling. Begitu putih, begitu lembut, begitu damai. Tak ada siapapun di sekeliling.
* * *
Darah merah segar berhamburan warnai genangan-genangan air yang berkilauan di jalan. Tubuh itu tergeletak tak bergerak. Orang-orang berdatangan guna memuaskan rasa ingin tahu mereka. Mereka berkerumun berdesakkan, menjengukkan kepala sejenak, dan segera berrpaling, melangkah pergi tak perduli.
Di bawah tangisan langit aku melangkah diam dalam keheninganku.. Orang-orang sibuk lalu-lalang di sekitarku, berjalan melewatiku begitu saja. Dan akupun melangkah diam di sana. Aku masih terus berjalan di jalan itu di bawah derasnya siraman hujan, masih di tengah keramaian yang sama, dan masih terasa sepi. Hanya satu hal yang kutahu dengan pasti. Cermin itu tak lagi ada. Dunia ini takkan lagi dipusingkan dengan keberadaan dua Sa. Dunia ini kini terbebas dari secuil kemunafikkan. Kini tiada lagi seorang Sa. Hanya ada seorang Vannie karena Sa telah pergi dan takkan pernah kembali.
Di bawah tangisan langit aku melangkah diam dalam keheninganku. Entah mengapa aku merasa begitu sepi di tengah kesibukkan kota ini. Orang-orang sibuk lalu-lalang di sekitarku, berjalan melewatiku begitu saja. Dan akupun melangkah diam di sana. Samar-samar sepertinya aku mendengar kalimat yang tak asing lagi di telingaku. Kuhentikan langkahku dan melihat sekitarku. “Aih…lucu banget! Kalo gw yang pake cocok gak ya? Mau donk! Beli dimana lo? Kembaran yuk!” Sungguh, kalimat yang membuatku amat muak! Aku sempat berpikir, “asyik juga kalau sekali-kali ‘kembaran’ dengan seseorang yang mungkin saja akan menjadi sahabatku, seorang teman dekat yang senasib sepenanggunggan”. Akan tetapi, bila kalimat itu terlontar dari bibir Vannie, lain lagi ceritanya.
* * *
“Sa, si Ella kenapa sich?”
“Kenapa bagaimana?”
“Tau tuh, tumben-tumbenan dia nggak mau gue ajak makan. Lo tau sendirikan, tu anak nggak pernah nolak yang namanya makanan,” cerita Vannie menggebu-gebu.
“Dia baru makan kali,” jawabku asal tanpa melepaskan pandangan dari majalah di tanganku. Vannie tidak puas dengan jawabanku. Vannie berharap mendapat jawaban yang dapat memuaskan rasa ingin tahunya dariku, Sa, teman dekatnya yang akhir-akhir ini cukup akrab dengan Ella.
“Tapi dia ngomongnya nggak enak banget tadi. Pengen gue tonjok tu anak!” lanjut Vannie berapi-api. Rupa-rupanya suasana hati Vannie sepanas udara hari itu. Pagi-pagi buta matahari sudah tampak dan siang itu sinar panasnya amat menyilaukan. Untung saja tidak ada Joe di sana. Pantulan sinar mentari di kepalanya yang licin mungkin dapat membutakan mata.
“Ya udah, biarin aja, ntar juga dia cerita sendiri,” sahutku ringan masih dengan majalah yang menyembunyikan wajahku dari tatapannya. Vannie yang semakin kesal mendengar tanggapanku segera beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkanku duduk seorang diri di bawah pohon di lapangan parkir sekolah.
“Oh ya, Sa, kemaren gue baru beli baju kayak punya lo yang ada gambar Tazmanianya. Warna cokelat juga lho! Gue cari yang cokelat tua kayak punya lo tapi ga ada. Jadi gue beli yang agak terang aja,” cerocosnya riang sambil terus berlalu.
Sepeninggal Vannie, aku masih asyik melahap habis sebuah artikel yang tertulis dalam majalah di tanganku. Entah apa judul artikel itu, tapi yang pasti, isi artikel itu amat menarik, lebih menarik daripada ocehan Vannie. Begitu tekunnya aku membaca sampai-sampai aku tidak mendengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekatiku padahal biasanya pendengaranku setajam kelinci. Orang itu telah berdiri diam tepat di hadapanku, menungguku menyadari kehadirannya. Merasa ada seseorang di dekatku akupun berujar,
“Udahlah, ngga perlu dipikirin lagi, nanti juga cerita.”
“Emang gue mikirin apa, Sa?” Aku tersentak kaget dan menyingkirkan majalah dari pandanganku. Sosok seorang pemuda tegap kini terlihat jelas di mataku, Paco, salah satu teman seperjalanan pulangku.
“Welcome back, Sa! Lo kira gue siapa? Gue cuma mo tanya, lo ikut pulang bareng gue nggak? Kalau enggak gue tinggal, nich! Joe ga jadi pulang bareng kita,” kata Paco sambil berlalu.
“Woi! Tungguin gue donk! Gue kan mo ikut pulang bareng biar elo yang bayarin ongkos angkot gue. Lumayan kan… ngirit.” Sa bergegas menyambar ranselnya dan berlari menyusul Paco. Majalah itu dibiarkannya berkibar-kibar di tangannya.
“Eh, Sa, kembaran lo kenapa tuh? Tampangnya sewot banget.”
“Kembaran gue? Sejak kapan gue punya kembaran?” sahutku pura-pura tidak mengenali orang yang dibicarakannya karena kini aku enggan memiliki kembaran.
“Lho, Vannie? Bukannya dia kembaran elo? Elo kan kompak banget sama dia. Baju aja sering sama,” kata Paco dengan ekspresi bingungnya yang lucu. Memang, di sekolah aku dan Vannie sering terlihat bersama. Tak jarang pula kami bermain bersama ataupun menghadiri suatu acara bersama. Akan tetapi, bukan itu yang membuat kami dianggap kembar. Fisik kami jauh berbeda. Vannie tinggi dan aku biasa saja. Kulit Vannie agak kecoklatan terbakar matahari dan raut wajahnya sungguh mencerminkan ciri-ciri orang Jawa sejati. Sementara aku, menurut pandangan teman-temanku, mirip Miss Universe. Hanya saja aku terperangkap di kota ini sementara Miss Universe bebas mengunjungi seluruh dunia.
Anggapan bahwa Vannie adalah kembaranku bermula dari kejadian di awal tahun pelajaran ini. Di sekolah kami ada kebijakan bahwa siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas di hari Sabtu. Waktu itu aku pergi ke sekolah mengenakan kemeja biru dan celana jins kebanggaanku. Semua bukuku telah tertata rapi dalam ransel biru baruku. Aku melangkah ringan sepanjang koridor menuju kelas. Namun, langkahku tertahan di ambang pintu kelas. Dari arah yang berlawanan seorang gadis melangkahkan kakinya ke arahku. Aku tercekat. Bagaimana tidak, penampilannya serupa denganku. Kemeja birunya, celana jinsnya, dan ransel di pundaknya benar-benar serupa dengan yang kupakai. Kulihat ia pun menghentikan langkahnya dan menatapku lekat-lekat. Kurasakan tubuhku melemas. Bagaimana mungkin seorang gadis di sekolahku berpenampilan sama persis denganku? Aku melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Celaka! Sudah tidak ada waktu lagi untuk pulang dan bertukar pakaian. Tampaknya gadis itu pun memikirkan dan melakukan hal yang sama. Bedanya, ia melirik jam miliknya yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Berpasang-pasang mata yang tertuju pada kami itu menatap heran, tak habis pikir. Pandangan itu beralih silih berganti menatapku dan anak baru itu dan serentak, tanpa komando, mereka berseru,
“Kembar ni ye...!” Aku tak dapat berkata sepatah katapun. Tanpa sadar, aku mengacak rambut yang telah tertata rapi di kepalaku. Anak baru itu menyandang sebuah nama yang manis, Vannie. Sejak saat itulah kami disebut kembaran.
Sebuah nama yang manis tidak selalu berarti si empunya nama tersebut juga berkepribadian menarik. Sejak kejadian itu kami memang menjadi dekat. Kami pun beranggapan bahwa mungkin mengasyikkan memiliki seorang “kembaran”. Dalam beberapa kesempatan kami mengenakan atribut yang mirip, tapi tidak sama persis. Aku tampil dengan gaya tomboiku sendiri dan Vannie dengan gaya femininnya.
Namun, lama kelamaan aku merasa tidak lagi bebas. Selalu ada Vannie yang membayang-bayangiku. Makin lama Vannie makin berani. Ia mulai meniru gayaku berpakaian, menggunakan kosmetika yang sama, bahkan memakai sabun yang sama denganku. Aku tak habis pikir melihat ulahnya. Segala hal yang menurutku baik, segala hal yang kuanggap cocok untuk diriku dianggapnya cocok pula untuk dirinya, sekalipun tidak semuanya cocok pada dirinya. “Tidak semua hal yang baik untuk seseorang juga baik untuk orang lain”. Sepertinya Vannie telah melupakan pepatah itu.
“Woi! Sa! Bengong aja! Bangun, Sa, bangun! Napa sich lo hari ini? Dari tadi bengong mulu.” Teriakan Paco di telingaku membawaku kembali dari ingatan masa lampau, tepatnya setahun yang lalu.
“Lo kalau jalan sambil bengong gitu ntar ketabrak mobil, kan gue yang repot!” sungutnya kesal.
“Biarin aja! Elo ini yang repot, bukan gue!”
“Tu kan, ini anak kalau dibilangin...ngeyel!”
“Iya, iya, elo gitu aja pake sewot segala! Elo juga sich pake nyebut-nyebut si Vannie kembaran gue segala lagi. Loe kan tau gue nggak pernah mimpi punya kembaran kayak dia!”
“Woi, woi! Sabar, mbak, becanda doank, sorry, sorry!” Kupercepat langkahku meninggalkan Paco yang masih sibuk terbengong-bengong menatap heran kelakuanku hari itu. Kudengar Paco mengumpat-umpat sambil sesekali meneriakkan namaku agar aku menunggunya. Aku semakin cepat melangkah dan mulai berlari menuju rumahku di ujung jalan itu.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri ke atas kasur empuk, dan kupeluk bantal kesayanganku. Ingin rasanya kubanting pintu di belakangku keras-kerang, bang! Akan tetapi, kuurungkan niatku mengingat ceramah berkepanjangan yang akan terpaksa kudengarkan bila suara bantingan itu terdengar hingga ke ujung dunia. Ingin rasanya kujatuhkan deretan lilin harum yang berjajar rapi di atas meja kecilku. Muak rasanya membayangkan Vannie menata meja riasnya dengan koleksi lilin yang sama denganku. Muak rasanya membayangkan dia menghirup aroma yang sama dari wewangian yang sama yang kuhembuskan ke seluruh tubuhku yang juga digunakannya kini. Bosan rasanya aku melihatnya selalu menirukan gerak-gerik dan perkataanku di setiap suasana. Aneh rasanya melihat seseorang begitu ingin menjadi diriku sementara aku sendiri terkadang merasa tidak nyaman dengan diriku. Seseorang yang selalu membeli barang yang kubeli, seseorang yang selalu memakai barang-barang yang sama denganku, seseorang yang memaksa diri mengkonsumsi makanan yang kusuka meski sering kali lambungnya menolak, seseorang yang membuatku tidak nyaman menjadi diriku sendiri. Sungguh copy-cat! Anehnya, ia begitu bangga dengan dirinya ini meski dengan demikian ia kehilangan identitas dirinya. Ia bagaikan bayanganku dengan pribadi dasar yang berbeda. Ia tak ubahnya tiruanku dengan pribadi yang palsu, imitasi. Vannie yang palsu, Sa imitasi. Namun, ia bangga dengan semua itu.
Cukup sudah! Lelah aku dengan semua ini! Kutanggalkan seragam sekolahku ini, kukenakan pakaian kebesaranku, kaos oblong dan celana jins sobek, dan segera angkat kaki dari rumah. Cuaca di luar sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Butiran-butiran air hujan membasahi sekujur tubuhku. Pandanganku mula kabur. Namun, aku terus melangkah, tanpa arah, entah kemana.
Genangan air hujan di bawah telapak kakiku seolah berputar membentuk suatu bayangan. Awalnya hanya kabut saja. Lama-kelamaan seuntas peristiwa seolah tergambar di sana. Peristiwa yang masih melekat erat dalam benakku. Bulan Desember yang lalu Vannie memberiku sebuah kartu natal. Di dalamnya tertulis kata-kata ini: “Semoga persahabatan kita kekal selamanya”. Kartu itu cukup manis bila saja yang tertulis di sana bukanlah kata-kata tersebut. Tidak, aku tak pernah menganggapnya seorang sahabat. Aku dan Vannie tak lebih dari seorang teman dekat! Seorang sahabat takkan pernah berusaha mati-matian meniru, mengimitasi, memalsu sahabatnya sendiri. Seorang sahabat akan turut senang, turut bangga bila sahabatnya memperoleh sesuatu yang baik bukannya iri atas segala yang diraih sang sahabat.
Segera saja kuinjak genangan air itu agar bayangan itu segera berlalu dari hadapanku. Akupun melangkah kembali melanjutkan perjalanku entah kemana. Kupalingkan wajahku dari jalanan yang penuh genangan air. Kutakut bayangan itu muncul kembali.
Di sudut mataku tertangkap sekilas bayangan sekelompok anak yang tengah mencuri-curi lihat melalui jendela sebuah toko kue yang terbuka. Tak terasa sebuah senyum tersungging, menarik sudut-sudut bibirku. Kubayangkan akulah yang berada di sana dengan Vannie di sampingku. Kuingat betapa sulitnya menahan air liur yang mendesak keluar dari mulut kami mencium sedapnya aroma pai lemon hangat yang matang. Seketika itu kami lekas-lekas melenyapkan diri dari pandangan koki yang sibuk mengeluarkan pai dari panggangan dan meletakkannya di jendela hingga pai itu cukup hangat untuk disantap. Setelah pai berada di tempatnya, biasanya kami saling bertukar pandang dan tesenyum nakal. Telinga kami dipasang tajam-tajam. Langkah dan suara sumbang koki tak lagi terdengar. “Aman. Siap? Pai lemon hangat, kami datang!” seru kami serentak. Pai lemon lenyap dan kami sibuk berlari menyelamatkan diri dari kejaran koki yang murka. Di bawah sebatang pohon apel tua yang rindang kami duduk menikmati pai lemon hasil rampasan sambil tertawa riang. Hangatnya pai lemon itu sehangat hubungan kami. Sungguh saat-saat yang menyenangkan.
Pandanganku beralih pada kaca-kaca etalase toko yang berderet rapi di sepanjang jalan. Di balik kaca-kaca itu tertata benda-benda imut nan cantik. Benda-benda itu kering dan hangat sementara aku masih berjalan tak tentu arah di bawah derasnya siraman hujan, basah dan kedinginan. Kaca itu basah. Butiran-butian air mengalir turun di atasnya. Butiran-butiran itu mengingatkanku pada butir-butir air mata yang pernah mengalir di pipiku. Sebutir mengalir turun, bersatu dengan yang lainnya dan bersama-sama terjatuh ke jalanan. Namun, butir-butir itu tidak sendiri. Mereka memang terjatuh, tapi tidak sendiri. Ada genangan air empuk yang siap menopang butiran-butiran yang terjatuh.
Sebutir mengalir di pipiku yang basah. Hangat, namun begitu hampa, begitu pedih. Sebuah nama terlintas dalam benakku, Vannie. “Lagi-lagi Vannie!” kataku membatin. Sebutir mengalir di pipiku. Butiran yang membawa jatuh perasaan gembira. Butiran yang sama yang pernah mengalir di pipiku waktu itu. Butiran yang mengalir karena Vannie.
Vannie ingin aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun, tindakannya saat itu masih terpeta jelas di benakku. Butiran itu dapat bercerita banyak tentang perasaanku saat itu. Dalam butiran itu termuat segala rasa sakit saat kutahu bahwa ia mempermainkan perasaan teman sepermainanku sejak kecil. Dalam butiran itu termuat rasa sedihku saat ia berkata,
“Sa, kemaren gue chatting sama Paco. Ternyata nggak cuma luarnya doank yang imut! Dia baik banget sama gue. Gue jadi sayang sama dia.” Mendengar itu, bagai tersambar petir, aku hanya bisa terpaku, diam seribu bahasa. Aku yakin Vannie mengerti betul posisi Paco. Rupa-rupanya kalimat itu saja belum cukup. Ia kembali membuka mulutnya dan katanya lagi,
“Sa, Paco buat gue aja ya…. Lo kan cantik, seksi banget pula. Ngga susah dech cari cowok baru. Lo tinggal pilih. Masih banyak yang ngantri lho…. Paco buat gue ya?!” Kurasakan wajahku begitu panas membara. Api amarah membakar seluruh jiwaku. Nammun, tiada kata dapat terucap. Kupalingkan wajahku. Sebutir mengalir jatuh. Aku tidak ingin Vannie melihat itu. Aku tak ingin mendengarnya tertawa senang. Dalam butiran itu juga termuat amarahku saat kutahu bahwa ia menginginkan segala yang kumiliki, bahwa ia ingin merebut semua itu dari tanganku. Vannie ingin menjadi seorang Sa.
Vannie ingin aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun, aku tidak bisa melakukan hal itu. Di mataku Vannie tak lebih dari seorang teman dekat, teman berbagi gosip dan tawa. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi sering kali ia menyakitiku.
Kata orang perselisihan dalam pertemanan itu wajar. Kata mereka saling menyakiti dalam sebuah persahabatan itu sudah biasa. Kata mereka pula persahabatan berarti saling memiliki, milikmu adalah milikku, milikku adalah milikku, bukan milikmu. Tidak! Bukan persahabatan seperti itu yang kuinginkan. Sahabat bukanlah ia yang seringkali menyakitimu dan ia menyadari perbuatannya. Sahabat bukanlah ia yang selalu menginginkan dan mengambil segala milikmu. Seorang sahabat adalah ia yang akan membantumu bangkit dari keterpurukkanmu, bukanlah ia yang tertawa di atas penderitaanmu. Seorang sahabat adalah ia yang senantiasa mendorongmu maju, bukan ia yang berusaha keras menyurutkan niat baikmu. Sahabat adalah ia yang peduli padamu, tapi tidak posesif. Seorang sahabat adalah ia yang memberikanmu pilihan alternatif yang baik untukmu saat kau bimbang. Ia memberimu jalan keluar, tapi bukanlah seorang diktaktor.
Seorang sahabat adalah tempat kau dapat menemukan kejujuran. Sahabat adalah tempat kau dapat menemukan keterbukaan. Sahabat adalah tempat kau menemukan kenyataan. Pada Vannie tidak kutemukan kejujuran. Pada Vannie kutemukan kebohongan. Padanya kutemukan kemunafikkan. Ia menuntut agar aku terbuka padanya, tapi ia tak pernah mau terbuka terhadapku. Mungkin benar kata orang bahwa orang lain adalah cermin bagi kita. Namun, bagi Vannie, aku bukan hanya sebuah cermin yang menampilkan refleksi dirinya. Baginya, aku adalah seorang panutan yang wajib ditiru. Aku hanyalah cermin kemunafikkannya.
Sebutir lagi mengalri dan mengalir. Cepat kuseka wajahku, kuhapus air mata yang mengalir deras, bercampur dengan derai-derai hujan yang menerpa wajahku. Kuangkat kepala dan kuteruskan perjalanan dalam kesepian ini. Tiba-tiba saja secercah cahaya menyilaukan seolah membutakan mataku. Sesaat aku merasa melayang, begitu ringan, begitu damai.
Tunggu dulu! Untuk apa aku menyakiti perasaanku selama ini? Untuk apa membebani pikiranku dengan segala keberatanku akan Vannie? Bila aku adalah cermin baginya, mengapa aku tak pernah dapat menyadarkannya? Aku adalah Sa, cermin baginya untuk dapat mendapatkan kembali identitas dirinya. Yang perlu kulakukan hanyalah menjadi cermin penyadar baginya. Akan tetapi, bagaimana caranya? Teguran lembut diacuhkannya. Peringatan ringan tak didengarnya. Sindiran-sindiran tajam tak pernah diperhatikanya. Hanya satu yang kurasa, bosan.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku. Mungkin akan menjadi lebih baik jikalau kuhancurkan saja cermin itu. Tanpa cermin itu takkan ada lagi Vannie yang palsu. Tanpa cermin itu tak ada lagi Sa imitasi. Kupandangi sekeliling. Begitu putih, begitu lembut, begitu damai. Tak ada siapapun di sekeliling.
* * *
Darah merah segar berhamburan warnai genangan-genangan air yang berkilauan di jalan. Tubuh itu tergeletak tak bergerak. Orang-orang berdatangan guna memuaskan rasa ingin tahu mereka. Mereka berkerumun berdesakkan, menjengukkan kepala sejenak, dan segera berrpaling, melangkah pergi tak perduli.
Di bawah tangisan langit aku melangkah diam dalam keheninganku.. Orang-orang sibuk lalu-lalang di sekitarku, berjalan melewatiku begitu saja. Dan akupun melangkah diam di sana. Aku masih terus berjalan di jalan itu di bawah derasnya siraman hujan, masih di tengah keramaian yang sama, dan masih terasa sepi. Hanya satu hal yang kutahu dengan pasti. Cermin itu tak lagi ada. Dunia ini takkan lagi dipusingkan dengan keberadaan dua Sa. Dunia ini kini terbebas dari secuil kemunafikkan. Kini tiada lagi seorang Sa. Hanya ada seorang Vannie karena Sa telah pergi dan takkan pernah kembali.
Salah Siapa?
Di tengah kericuhan berbagai peristiwa musibah nasional, sudah hampir sebulan ini kekisruhan terjadi di tempat saya bekerja paruh waktu. Salah seorang diantara kami, sebut saja “A”, merasa kecewa terhadap seseorang pekerja lain. A merasa ia ditikam dari belakang oleh, sebut saja ”B” sampai empat kali. Entah apa permasalahannya. Beberapa tanggapan kemudian bermunculan. Ada yang merasa salut pada si A yang mampu tetap bersikap ramah pada B jika keduanya bertemu; meski menurut pengakuan A sikapnya itu hanyalah bentuk profesionalismenya dalam bekerja. Ada pula yang merasa heran dengan kekecewaan si A yang sudah menjurus pada dendam.
Saya pribadi sepakat dengan rekan yang mempertanyakan si A. Saat kita merasa disakiti oleh orang lain, belum tentu yang bersangkutan merasa telah berbuat salah pada kita. Jika itu yang terjadi, dan kita membiarkan orang itu tetap tidak mengetahui bahwa kita tersakiti oleh perkataan atau tindakannya, sampai kapanpun masalah tidak akan terselesaikan. Kita akan tetap sibuk dengan rasa sakit hati, sibuk merancang upaya balas dendam. Sementara dia melanjutkan hidup dengan tenang. Melihat ketenangannya itu kita akan semakin terpancing emosi. Akibatnya mudah ditebak. Sepintar apapun, seteguh apapun kita menjalankan profesionalisme kerja, suasana kerja tentu terpengaruh. Suasana kekeluargaan yang diidamkan dan diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dan kinerja kerja tentu tidak akan tercipta.
Lantas apa yang harus dilakukan. Lagi-lagi komunikasi yang menjadi andalan. Duduk tenang dan membicarakan semuanya baik-baik tampaknya merupakan awal dari jalan keluar yang baik. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau menuntut permintaan maaf dari salah satu pihak. Namun, lebih pada pengungkapan perasaan, pikiran, mengkomunikasikannya hingga tercapai pengertian dan kesepahaman. Pengungkapan perasaan dan pemikiran itu sama pentingnya dengan komunikasi itu sendiri. Perasaan yang ditahan dan dipendam tak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Soal ini akan saya jabarkan lebih lanjut di lain kesempatan. Berangkat dari situlah alternatif pemecahan masalah dapat dicari bersama, penyelesaian yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak dan memulihkan hubungan baik yang pernah ada.
Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah atau mengobati sakit hati jika orang yang menyakiti kita tidak mengetahui bahwa kita tersakiti? Jika kita bersikeras memendam segalanya sendiri dan menolak untuk berkomunikasi, salah siapa jika kita semakin tersakiti sementara orang lain baik-baik saja?
Perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki kepekaan yang amat tinggi atau kemampuan membaca pikiran orang lain. Perlu keberanian dan kecermatan pula dalam memulai komunikasi. Perlu mencoba dan terus mencoba untuk membina komunikasi itu. Lantas, kapan kita akan memulainya?
Saya pribadi sepakat dengan rekan yang mempertanyakan si A. Saat kita merasa disakiti oleh orang lain, belum tentu yang bersangkutan merasa telah berbuat salah pada kita. Jika itu yang terjadi, dan kita membiarkan orang itu tetap tidak mengetahui bahwa kita tersakiti oleh perkataan atau tindakannya, sampai kapanpun masalah tidak akan terselesaikan. Kita akan tetap sibuk dengan rasa sakit hati, sibuk merancang upaya balas dendam. Sementara dia melanjutkan hidup dengan tenang. Melihat ketenangannya itu kita akan semakin terpancing emosi. Akibatnya mudah ditebak. Sepintar apapun, seteguh apapun kita menjalankan profesionalisme kerja, suasana kerja tentu terpengaruh. Suasana kekeluargaan yang diidamkan dan diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dan kinerja kerja tentu tidak akan tercipta.
Lantas apa yang harus dilakukan. Lagi-lagi komunikasi yang menjadi andalan. Duduk tenang dan membicarakan semuanya baik-baik tampaknya merupakan awal dari jalan keluar yang baik. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau menuntut permintaan maaf dari salah satu pihak. Namun, lebih pada pengungkapan perasaan, pikiran, mengkomunikasikannya hingga tercapai pengertian dan kesepahaman. Pengungkapan perasaan dan pemikiran itu sama pentingnya dengan komunikasi itu sendiri. Perasaan yang ditahan dan dipendam tak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Soal ini akan saya jabarkan lebih lanjut di lain kesempatan. Berangkat dari situlah alternatif pemecahan masalah dapat dicari bersama, penyelesaian yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak dan memulihkan hubungan baik yang pernah ada.
Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah atau mengobati sakit hati jika orang yang menyakiti kita tidak mengetahui bahwa kita tersakiti? Jika kita bersikeras memendam segalanya sendiri dan menolak untuk berkomunikasi, salah siapa jika kita semakin tersakiti sementara orang lain baik-baik saja?
Perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki kepekaan yang amat tinggi atau kemampuan membaca pikiran orang lain. Perlu keberanian dan kecermatan pula dalam memulai komunikasi. Perlu mencoba dan terus mencoba untuk membina komunikasi itu. Lantas, kapan kita akan memulainya?
Tuesday, March 6, 2007
Organisasi sosial
Dalam perjalanan beberapa hari yang lalu, seorang teman seperjalanan mengeluhkan perilaku teman lain seorganisasi. Menurutnya, teman itu terlalu menuntut anggotanya sementara dia sendiri bersenang-senang, melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Dalam hati saya heran bagaimana dia bisa terpilih sebagai pimpinan. Atau dia begitu pintar mengambil hati anggota lain? Situasi tidak mudah diubah. Teman saya terpaksa menelan kekesalannya itu. Ia tahu ia tidak berhak menuntut apapun karena organisasi itu bukanlah organisasi profesional. Memang idealnya setiap orang dimanapun berkarya tetap berlaku profesional.
*(next time didsambung lagi. jatah jaga sudah berakhir, begitu pula akses internet hehehe...)
*(next time didsambung lagi. jatah jaga sudah berakhir, begitu pula akses internet hehehe...)
Saturday, March 3, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)