Wednesday, December 19, 2007

Refleksi akhir tahun 2007

Refleksi akhir tahun 2007

Hari itu kami baru merampungkan kerja selama sebulan terakhir. Dalam perjalanan pulang, perbincangan bersama teman seperjalanan memberiku kenyataan baru. Kisah yang selama ini hanya kudengar dari para dosen sebagai contoh kasus dalam penjelasan materi di kelas kini hadir dihadapan.
Bermula dengan pembicaraan seputar karir seusai kulah, obrolan mlebar hingga mempertanyakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. “Gue masih belum menemukan apa fungsi laki-laki selain fungsi biologis.”
Sulit bagi saya untuk berkomentar menanggapi pertanyaan ini. Saya masih berpegang teguh bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk memenuhi fungsi bagiannya masing-masing kemudian saling melengkapi, saling mengisi kekosongan. Sehebat-hebatnya seorang laki-laki, tentu ada sisi yang perlu dipenuhi seorang perempuan, siapapun perempuan itu. Bisa jadi ibunya, saudaranya, rekan kerja, rival, atau pasangan hidupnya, bahkan anaknya. Tapi saya kehilangan kata dalam rangkaian. Jadinya hanya diam.
“Gue suka kesel sama cowok yang pernah nyakitin cewek. Buat apa punya cowok klo Cuma disakitin. Toh lo juga bisa sendiri. Gue masih belom nemu apa fungsinya cowok… Dari pada saling nyakitin ya udah, lo-lo, gue-gue,” laanjutnya agak sengit. Saya tergelitik. Teman yang berkata ini bukanlah teman yang kukenal sebagai orang yang anti berpasangan. Sampai tulisan ini saya buat pun ia masih berstatus “single, but not available”. Bagaimana bisa ia berkomentar demikian? Sebuah pertanyaan klarifikasipun kuajukan padanya, “Hm.. jadi, lo pacaran itu buat apa? Apa karena lo pengen mengalami yang temen-temen lo alami atau karena situasi lingkungan yang semuanya seperti itu, jadi lo juga pengen seperti itu?”. “Pada akhirnya begitu,” jawabnya singkat.
Bagi teman seperjalanan saya kali itu, pacaran atau berpasangan hanyalah bagian dari upaya konformitas. Ia ingin diterima lingkungan. Ia ingin dianggap norma, selain juga merasakan keinginan untuk merasakan kesenangan yang kerap diungkapkan teman seusia yang tengah menjalani hubungan itu.
Upaya konformitas semacam ini tentu bukan hal asing bagi kita. Siapapun, dimanapun selalu berusaha “menjadi sama” dengan lingkungan agar dapat diterima. Untuk itu peraturan dibuat dan ditaati. Konformitas juga membentuk identitas yang dipilih individu untuk dilekati. Contoh di atas rasanya sudah cukup menjelaskan. Kini tinggal bagaimana kita menjalani konformitas itu.
Ketakutan kehilangan identitas biasanya mendasari seseorang melakukan konformitas. Dengan bersikap kritis seseorang dapat diterima di sebuah komunitas diskusi yang intelek. Dengan demikian ia berani meng-claim bahwa dirinya berasal dari kalangan pendidikan. Ia seorang yang kritis. Ia akan cenderung terus mengasah sikap kritis tersebut dengan membaca media yang sekiranya membantu. Koran, misalnya. Ia juga akan menghindari membaca komik karena takut akan ejekan jika orang lain mengetahui bacaannya “kurang bermutu” sehingga ia kehilangan identitas sebagai kaum intelektual.
Sayangnya, konformitas seringkali menimbulkan konflik dalam diri. Sebagai kalangan “kelas atas”, wine dan branded thing menjadi must have item. Sementara sebenarnya individu tersebut lebih memilih minum kopi tubruk di warteg, bercelana jins belel yang nyaman ketimbang bersikap elegan dengan tuxedo di ballroom. Jika ia menuruti keinginannya, tentu ia akan dicap sebagai orang berselera rendah dan didepak dari komunitas kelas atas. Ia pun akan kehilangan identitas sebagai anggota komunitas itu dan kehilangan akses dalam beberapa hal terkait.
Contoh lain, seorang anak anggota geng pelajar tertentu. Ia harus bersikap sama dengan kelompoknya jika tidak ingin dikeluarkan dan menjadi bulan-bulanan kelompok itu meskipun kerap ia tidak memberikan hatinya. Konformitas menjadi upaya untuk “bertahan hidup”.
Lantas, apakah konformitas juga berarti komunisme? Individu tidak lagi memiliki identitas diri. Semua sama. Mulai dari dandanan, potongan rambut, hingga cara pegang sendok di kala menyantap makanan jatah dengan porsi sama persis hingga gram-nya. Semua sama rata, sama rasa. Persis halnya jaman Gorbachev berkuasa.
Tentu tidak. Konformitas bukanlah upaya cloning. Pertama, konformitas dilakukan atas dasar suka rela. Namanya juga suka rela, individu yang bersangkutan memilih bentuk konformitas sesuka dan serelanya. Ia bisa memilih untuk berkonform hanya dalam hal tampilan fisik sementara individu lain memilih untuk berkonform dalam hal cara duduk. Dasarnya kebebasan. Individu tetap memiliki kebebasan memilih kelompok mana yang ingin dimasuki berikut jenis konformitas yang diperlukan untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut.
Kedua, kornformitas dalam satu hal tidak lantas membuat seluruh identitas individu hilang, melebur dalam kelompok. Dengan bergabung dalam satu sekolah an mengikuti segala aturan yang berlaku di sekolah tersebut, bukan lantas membuat seluruh hidup individu dikungkung aturan tersebut. Sepulang sekolah, ia tetap menjadi anggota kelompok sepermainannya yang memiliki peraturan main sendiri. Misalkan untuk mengikut pelajaran di sekolah ia diwajibkan mengenakan seragam, ketika bermain di kelompoknya di luar sekolah, ia dapat mengenakan topi khas kelompoknya. Individu yang sama melakukan konformitas dalam dua kelompok yang berbeda. Ia tetap diterima dalam kelompok tanpa kehilangan jati dirinya.
Tentu ini tidak berlaku bagi individu yang memilih untuk memiliki kelekatan sempurna dengan sebuah kelompok. Fanatik.
Menjelang tahun yang baru. Mungkin ini saat yang tepat untuk memilah bentuk konformitas yang akan dilakukan berikutnya. Juga menetapkan identitas yang sesuai dengan diri dan berjuang untuk identitas impian secara realistis. Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Tidak juga menhyalahkan teman seperjalanan tadi atas pilihannya untuk berkonformitasi. Saya hanya ingin mengingatkan diri untuk tidak menipu diri atas perasaan sendiri dan mengaji ulang semua yang telah diputuskan. Dengan kata lain, refleksi akhir tahun.