Tuesday, May 26, 2009

Antara Hak dan Nama Baik

ukan maksud mengajukan diri jadi pahlawan. Aku hanya ingin mengingatkan pihak-pihak terkait untuk lebih cermat dan menghindarkan jatuhnya korban dalam bentuk apapun.
* * *
Anggaplah aku tengah menghadiri sebuah pesta kebun. Meja minuman cocktail tak pernah sepi. Wanita-wanita dengan sundress warna warni bolak balik mengisi ulang gelas-gelas cocktail mereka. Para pria mendampingi, mengobrol ringan sambil menikmati hangatnya matahari dan pemandangan taman yang tertata apik. Tidak ada rumpun mawar. Hanya violet, aster, dan daisy, serta beberapa gerombol kemuning wangi.
Tibalah saat mengedarkan nampan berisi gelas champange. Untuk toast katanya. Beberapa detik yang mempersatukan. Panitia menjatah satu gelas untuk satu orang. Sudah disiapkan cermat sejumlah undangan yang disebar. Tak disangka, nampan kosong kembali dengan menyisakan beberapa hadirin tanpa gelas di tangan. Habis.
Toast harus dilanjutkan. Sebagian hadirin sudah mengangkat gelas. Panitia harus menanggung malu dan rasa tak enak hati. Apa yang akan Anda lakukan sedianya Anda adalah kerabat tuan rumah? Aku memilih menyingkir ke dalam, memberian gelasku pada tuan rumah agar si tamu dapat menyajikan setidaknya satu gelas lagi.

Hal serupa dapat terjadi kapanpun dimanapun. Konflik kepentingan seperti ini bukan hal baru. Sebenarnya kita berhak untuk menolak memberikan “jatah” untuk orang lain – dalam cerita di atas: gelas champagne. Kita juga tamu. Namun, di sisi lain, kita juga turut bertanggung jawab atas nama baik tuan rumah. Rasanya diperlukan tindakan “penyelamatan” muka tuan rumah yang notabene juga menyelamatkan muka kita sebagai kerabat.
Anggaplah pesta kebun ilustrasi di atas dapat diselamatkan dengan catatan kecil korban. Anda sudah merelakan kealpaan Anda dalam adegan toast. Bahkan Anda turut bersyukur dan tertawa bersama mereka. Bagaimana perasaan Anda jika tiba-tiba di akhir pesta, anak sang tuan rumah mendekati Anda dan menjanjikan sesuatu sebagai kompensasi “pengorbanan” Anda? Ada rasa senang bahwa “pengorbanan” Anda dihargai. Secara manusiawi, harapan pemenuhan janji itu lantas berkembang.
Selang beberapa waktu, akhirnya salah satu anggota keluarga tuan rumah menemui Anda guna pemenuhan janji tadi. Anda mendapati ia datang hanya guna memberikan gelas champange pada Anda, dan berlalu.
Bukankah akan lebih baik jika pertemuan ini dimanfaatkan sebagai ajang untuk lebih saling mendekatkan diri? Kisah panik hari hampir celaka itu bisa jadi topik menarik. Misal, bagaimana bisa sampai terjadi kekurangan. Lantas bagaimana kekurangan lainnya diatasi. Sayangnya dalam ilustrasi ini hal itu tidak terjadi.
Apa jadinya jika saat itu beberapa tamu yang tidak mendapat gelas terpaksa tersingkir dari acara? Apa yang akan mereka katakan pada orang luar? Terlebih jika mereka adalah atasan Anda atau orang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat. Malu. Meskipun seandainya mereka mengemas cerita hari itu dengan humor komedi, tetap saja nama baik tuan rumah dan keluarga tercoreng. Mungkin lain dampaknya jika kejadian serupa terjadi di belahan Eropa atau Amerika yang tidak sekarib Indonesia dalam pergaulan sosial.
Dua hal yang ingin saya sampaikan dengan penuturan ini:
1. Perencanaan cermat
2. Komunikasi efektif
Saya percaya dengan komunikasi yang baik, banyak hal dapat diatasi dengan baik pula. Permasalahan dapat diselesaikan dengan lebih lancar. Penerimaan akan “penyimpangan” pun akan lebih baik.
Sudirman, 26 Mei 2009
gundah dua minggu terakhir

Sunday, May 17, 2009

Mengalahkan atau Memperjuangkan Mimpi

Saya percaya tidak ada anak yang tidak pernah ditanya cita-citanya. Bahkan Ria Enes menuangkannya dalam lagu yang masih saya dengar sesekali. "Susan, Susan, Susan, besok gede mau jadi apa?" Setiap orang diajari membangun mimpinya sejak kanak-kanak. Mengapa? Saya tidak tahu persis kajian ilmiahnya. Yang saya tahu persis, mimpi itu memberi daya. Mimpi itulah yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu dan terus berjuang. Hidup tanpa mimpi sama saja mati.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, setiap orang "dipaksa" menggeser mimpinya.Atau bahkan mengubur dalam-dalam. Mimpi hanyalah mimpi. Terutama ketika mimpi pribadi bertabrakan dengan mimpi orang lain yang superior dalam hidup kita. Kita terpaksa mencecap pahitnya kehancuran mimpi. Pilihan lain adalah keluar dari pertabrakan mimpi dengan resiko kehilangan "mimpi" atau ideal yang lain.
Lantas, untuk apa kita diajari membangun mimpi. Saya hanya tahu satu hal: untuk terus hidup dan menghidupi kehidupan dengan lebih bermakna; bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar. Untuk saling menyesuaikan dan membangun mimpi bersama, lalu menjalani mimpi itu bersama.
Kini saatnya memilih: mimpi mana yang akan dijalani.