Di tengah kericuhan berbagai peristiwa musibah nasional, sudah hampir sebulan ini kekisruhan terjadi di tempat saya bekerja paruh waktu. Salah seorang diantara kami, sebut saja “A”, merasa kecewa terhadap seseorang pekerja lain. A merasa ia ditikam dari belakang oleh, sebut saja ”B” sampai empat kali. Entah apa permasalahannya. Beberapa tanggapan kemudian bermunculan. Ada yang merasa salut pada si A yang mampu tetap bersikap ramah pada B jika keduanya bertemu; meski menurut pengakuan A sikapnya itu hanyalah bentuk profesionalismenya dalam bekerja. Ada pula yang merasa heran dengan kekecewaan si A yang sudah menjurus pada dendam.
Saya pribadi sepakat dengan rekan yang mempertanyakan si A. Saat kita merasa disakiti oleh orang lain, belum tentu yang bersangkutan merasa telah berbuat salah pada kita. Jika itu yang terjadi, dan kita membiarkan orang itu tetap tidak mengetahui bahwa kita tersakiti oleh perkataan atau tindakannya, sampai kapanpun masalah tidak akan terselesaikan. Kita akan tetap sibuk dengan rasa sakit hati, sibuk merancang upaya balas dendam. Sementara dia melanjutkan hidup dengan tenang. Melihat ketenangannya itu kita akan semakin terpancing emosi. Akibatnya mudah ditebak. Sepintar apapun, seteguh apapun kita menjalankan profesionalisme kerja, suasana kerja tentu terpengaruh. Suasana kekeluargaan yang diidamkan dan diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dan kinerja kerja tentu tidak akan tercipta.
Lantas apa yang harus dilakukan. Lagi-lagi komunikasi yang menjadi andalan. Duduk tenang dan membicarakan semuanya baik-baik tampaknya merupakan awal dari jalan keluar yang baik. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau menuntut permintaan maaf dari salah satu pihak. Namun, lebih pada pengungkapan perasaan, pikiran, mengkomunikasikannya hingga tercapai pengertian dan kesepahaman. Pengungkapan perasaan dan pemikiran itu sama pentingnya dengan komunikasi itu sendiri. Perasaan yang ditahan dan dipendam tak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Soal ini akan saya jabarkan lebih lanjut di lain kesempatan. Berangkat dari situlah alternatif pemecahan masalah dapat dicari bersama, penyelesaian yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak dan memulihkan hubungan baik yang pernah ada.
Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah atau mengobati sakit hati jika orang yang menyakiti kita tidak mengetahui bahwa kita tersakiti? Jika kita bersikeras memendam segalanya sendiri dan menolak untuk berkomunikasi, salah siapa jika kita semakin tersakiti sementara orang lain baik-baik saja?
Perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki kepekaan yang amat tinggi atau kemampuan membaca pikiran orang lain. Perlu keberanian dan kecermatan pula dalam memulai komunikasi. Perlu mencoba dan terus mencoba untuk membina komunikasi itu. Lantas, kapan kita akan memulainya?
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment