Tuesday, May 6, 2008

In Memoriam

Aroma dupa masih tercium dari rambutku. Aroma yang melekat siang tadi di perkuburan rupanya enggan melepaskanku begitu saja. Padahal aku tak pernah menyukainya. Selalu saja kukuatkan hati menahan napas ketika ada dupa dibakar di sekitarku. Langkah selalu kupercepat ketika melewati rumah peramal nasib yang hanya berjarak dua blok dari rumahku. Sengaja kumencari tempat agak jauh dari altar saat perayaan ekaristi agung, sekadar menjauhkan diri dari hembusan angina yang membawa aroma dupa merasuk rongga hidung. Bahkan aku selalu menolak menemani nenek buyut berdoa ketika kami masih tinggal bersama lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Aku hanya tidak ingin menghirup asap dupa yang tak pernah terlupa diayunkan nenek buyut sembari berdoa.
Namun, aku sering meminjam dupa itu sebelum dibakar dan meniru nenek buyut mengayun-ayunkannya di depan altar kecil di rumah kami. Menyenangkan rasanya mengayun-ayunkan batangan dupa merah itu. Lebih menyenangkan lagi, setelah puas mengayun, selalu ada paman yang siap menggendongku lantaran altar dan tempat menancapkan dupa batangan itu terlampau tinggi. Kala itu usiaku belum genap lima tahun. Begitu paman menyalakan dupa yang kutancap tadi, tanpa dikomando aku melarikan diri sejauh mungkin. Biasanya ke pekarangan, lantas mengajak anjing mengejar ayam-ayam kate peliharaan kami. Bocah.
Tahun-tahun berlalu. Tidak ada lagi dupa batangan merah yang tertancap menyala di altar itu. Nenek buyut telah berpulang dan tak ada yang meneruskan ritual tersebut, meskipun sekurang-kurangnya lima kali setahun keluargaku dan ribuan umat lain terpaksa menghirup aroma serupa dari dupa bakaran yang dipersembahkan dalam perrayaan ekaristi agung. Simbolis saja. Asap dupa yang mengangkasa diasosiasikan dengan lantunan doa-doa yang dipanjatkan, diharap sampai juga kepada Sang Maha. Tapi, tetap saja, aku tak menyukai aromanya.
Kali ini aku terlalu malas untuk membasuh rambut, mengganti aroma dupa dengan harum mint shampoo yang kusuka. Perjalanan pulang satu jam tadi terasa seabad. Rasanya tenagaku tercecer di setiap bongkah kerikil beraspal yang kulewati. Bongkah-bongkah kerikil yang memisahkanku dari peristirahatan kekal seorang teman.
Baru beberapa minggu yang lalu aku masih duduk bersamanya mengelilingi meja yang sama, membahas hasil kerja bersama dalam rapat rutin triwulan kami. Baru sebulan yang lalu aku berkumpul bersama teman-teman sepermainan di rumahnya yang kami jadikan markas. Ketiga anak lelakinya tentu bergabung bersama, bahkan si sulung itulah kepala regu kami.
Masih sulit kupercaya bahwa baru saja kami menyaksikan raganya disimpan rapi dibalik bongkahan tanah merah bertabur bunga. Belum ada satu minggu sejak kuhadiri doa untuk ketenangan arwah seorang nenek dari teman. Sehari sesudahnya, sms teman lain kuterima. Informasi lain seputar duka cita. Seorang teman sekelas sewaktu SMP meninggal karena leukemia. Jadilah minggu ini kuiisi dengan berkeliling rumah duka dan pemakaman.
Letih yang menghinggapi badan membuatku bertahan dan segera terlelap ketika berhasil mengunci pintu rumah dan mencapai kamar tidurku. Aroma yang melekat di rambut tak mampu menunda ritual istirahat malamku. Hmm… kali ini aroma dupa membuka celah bagi rasa yang lain. Rasa rindu.


* * *


In memoriam Jeannet Ananda, Subianto Setio, & Leonardi Lintang