Sunday, December 28, 2008

Reuni Ketiga

Tiga tahun yang lalu saya tertawa sinis ketika perkuliahan membahas teori konformitas. Ada sedikit rasa jijik terselip dan tekad membuktikan diri bahwa konformitas itu dapat saya minimalisir dalam hidup keseharian saya. Namun, yang terjadi pada akhir pekan lalu memaksa saya mengakui kebenaran teori itu sebenar-benarnya.
Pada dasarnya setiap orang membutuhkan rasa ”sama dengan lingkungan” atau merasa menjadi bagian dari suatu komunitas, apapun jenisnya. Berada di suatu komunitas dan diterima sebagai bagian dari komunitas membuat individu merasa dihargai, merasa memiliki daya yang lebih untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, penolakan dari lingkungan sekitar membuat individu merasa aneh, berbeda, dikucilkan, dan akhirnya kehilangan kemampuan berkarya.
Penerimaan yang saya rasakan ketika hadir seorang diri di acara komunitas kami semasa sekolah mampu membuat saya merasa begitu berharga. Tampaknya semua kesalahan selama proses pembelajaran tentang hidup yang kami alami semasa sekolah dulu tak lagi menjadi masalah. Proses lanjutan yang kami lalui memampukan kami (terutama saya) menertawai masa suram ketika itu. Kebersamaan singkat petang itu membuahkan kesadaran dan energi baru yang semoga saja bukan hanya saya yang mengalaminya.

Thursday, December 11, 2008

Sudah hampir dua bulan aku mencicip profesi M&PR. Menyenangkan, menantang, sedikit mengerikan. Masih membuatku kerap kikuk dan manja. Minta ditemani senior, enggan maju sendiri. Satu kebimbangan, inikah dunia yang ingin kugeluti?
Para senior kerap berbaik hati berbagi pengalaman dan tips seputar dunia kerja. Beberapa kali mereka berkata, masa mencicipi suatu profesi terbatas waktu dua tahun. Selebihnya akan sulit berpindah lahan. Hanya saja, untuk menentukan lahan yang tepat butuh kompromi hati. Itu yang belum kutemukan caranya. Mungkin ini eforia sesaat. Harus cepat memutuskan.

Tertular...

Pagi ini rekan saya memasuki ruang kerja kami membawa aura yang berbeda. Senyumnya tak lepas dan wajahnya sumringah. Bahagia. Gerakkannya lincah, mengingatkanku pada anak seorang teman yang entah mengapa tiba-tiba lekat padaku seakhir pekan kemarin. Penuh energi, meluap-luap, mendesak disebarkan.
Sederhana, tapi mampu mengisi ulang energiku yang mulai kendor. Sesekali mengeluh dan kembali tersenyum melihat polahnya. Ah, ia yang sedang menguasai dunia dengan cintanya...

Tuesday, May 6, 2008

In Memoriam

Aroma dupa masih tercium dari rambutku. Aroma yang melekat siang tadi di perkuburan rupanya enggan melepaskanku begitu saja. Padahal aku tak pernah menyukainya. Selalu saja kukuatkan hati menahan napas ketika ada dupa dibakar di sekitarku. Langkah selalu kupercepat ketika melewati rumah peramal nasib yang hanya berjarak dua blok dari rumahku. Sengaja kumencari tempat agak jauh dari altar saat perayaan ekaristi agung, sekadar menjauhkan diri dari hembusan angina yang membawa aroma dupa merasuk rongga hidung. Bahkan aku selalu menolak menemani nenek buyut berdoa ketika kami masih tinggal bersama lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Aku hanya tidak ingin menghirup asap dupa yang tak pernah terlupa diayunkan nenek buyut sembari berdoa.
Namun, aku sering meminjam dupa itu sebelum dibakar dan meniru nenek buyut mengayun-ayunkannya di depan altar kecil di rumah kami. Menyenangkan rasanya mengayun-ayunkan batangan dupa merah itu. Lebih menyenangkan lagi, setelah puas mengayun, selalu ada paman yang siap menggendongku lantaran altar dan tempat menancapkan dupa batangan itu terlampau tinggi. Kala itu usiaku belum genap lima tahun. Begitu paman menyalakan dupa yang kutancap tadi, tanpa dikomando aku melarikan diri sejauh mungkin. Biasanya ke pekarangan, lantas mengajak anjing mengejar ayam-ayam kate peliharaan kami. Bocah.
Tahun-tahun berlalu. Tidak ada lagi dupa batangan merah yang tertancap menyala di altar itu. Nenek buyut telah berpulang dan tak ada yang meneruskan ritual tersebut, meskipun sekurang-kurangnya lima kali setahun keluargaku dan ribuan umat lain terpaksa menghirup aroma serupa dari dupa bakaran yang dipersembahkan dalam perrayaan ekaristi agung. Simbolis saja. Asap dupa yang mengangkasa diasosiasikan dengan lantunan doa-doa yang dipanjatkan, diharap sampai juga kepada Sang Maha. Tapi, tetap saja, aku tak menyukai aromanya.
Kali ini aku terlalu malas untuk membasuh rambut, mengganti aroma dupa dengan harum mint shampoo yang kusuka. Perjalanan pulang satu jam tadi terasa seabad. Rasanya tenagaku tercecer di setiap bongkah kerikil beraspal yang kulewati. Bongkah-bongkah kerikil yang memisahkanku dari peristirahatan kekal seorang teman.
Baru beberapa minggu yang lalu aku masih duduk bersamanya mengelilingi meja yang sama, membahas hasil kerja bersama dalam rapat rutin triwulan kami. Baru sebulan yang lalu aku berkumpul bersama teman-teman sepermainan di rumahnya yang kami jadikan markas. Ketiga anak lelakinya tentu bergabung bersama, bahkan si sulung itulah kepala regu kami.
Masih sulit kupercaya bahwa baru saja kami menyaksikan raganya disimpan rapi dibalik bongkahan tanah merah bertabur bunga. Belum ada satu minggu sejak kuhadiri doa untuk ketenangan arwah seorang nenek dari teman. Sehari sesudahnya, sms teman lain kuterima. Informasi lain seputar duka cita. Seorang teman sekelas sewaktu SMP meninggal karena leukemia. Jadilah minggu ini kuiisi dengan berkeliling rumah duka dan pemakaman.
Letih yang menghinggapi badan membuatku bertahan dan segera terlelap ketika berhasil mengunci pintu rumah dan mencapai kamar tidurku. Aroma yang melekat di rambut tak mampu menunda ritual istirahat malamku. Hmm… kali ini aroma dupa membuka celah bagi rasa yang lain. Rasa rindu.


* * *


In memoriam Jeannet Ananda, Subianto Setio, & Leonardi Lintang

Tuesday, March 4, 2008

Salah Siapa?

(written @ July'07)

Di tengah kericuhan berbagai peristiwa musibah nasional, sudah hampir sebulan ini kekisruhan terjadi di tempat saya bekerja paruh waktu. Salah seorang diantara kami, sebut saja “A”, merasa kecewa terhadap seseorang pekerja lain. A merasa ia ditikam dari belakang oleh, sebut saja ”B” sampai empat kali. Entah apa permasalahannya. Beberapa tanggapan kemudian bermunculan. Ada yang merasa salut pada si A yang mampu tetap bersikap ramah pada B jika keduanya bertemu; meski menurut pengakuan A sikapnya itu hanyalah bentuk profesionalismenya dalam bekerja. Ada pula yang merasa heran dengan kekecewaan si A yang sudah menjurus pada dendam.

Saya pribadi sepakat dengan rekan yang mempertanyakan si A. Saat kita merasa disakiti oleh orang lain, belum tentu yang bersangkutan merasa telah berbuat salah pada kita. Jika itu yang terjadi, dan kita membiarkan orang itu tetap tidak mengetahui bahwa kita tersakiti oleh perkataan atau tindakannya, sampai kapanpun masalah tidak akan terselesaikan. Kita akan tetap sibuk dengan rasa sakit hati, sibuk merancang upaya balas dendam. Sementara dia melanjutkan hidup dengan tenang. Melihat ketenangannya itu kita akan semakin terpancing emosi. Akibatnya mudah ditebak. Sepintar apapun, seteguh apapun kita menjalankan profesionalisme kerja, suasana kerja tentu terpengaruh. Suasana kekeluargaan yang diidamkan dan diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dan kinerja kerja tentu tidak akan tercipta.

Lantas apa yang harus dilakukan. Lagi-lagi komunikasi yang menjadi andalan. Duduk tenang dan membicarakan semuanya baik-baik tampaknya merupakan awal dari jalan keluar yang baik. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau menuntut permintaan maaf dari salah satu pihak. Namun, lebih pada pengungkapan perasaan, pikiran, mengkomunikasikannya hingga tercapai pengertian dan kesepahaman. Pengungkapan perasaan dan pemikiran itu sama pentingnya dengan komunikasi itu sendiri. Perasaan yang ditahan dan dipendam tak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Soal ini akan saya jabarkan lebih lanjut di lain kesempatan. Berangkat dari situlah alternatif pemecahan masalah dapat dicari bersama, penyelesaian yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak dan memulihkan hubungan baik yang pernah ada.

Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah atau mengobati sakit hati jika orang yang menyakiti kita tidak mengetahui bahwa kita tersakiti? Jika kita bersikeras memendam segalanya sendiri dan menolak untuk berkomunikasi, salah siapa jika kita semakin tersakiti sementara orang lain baik-baik saja?

Perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki kepekaan yang amat tinggi atau kemampuan membaca pikiran orang lain. Perlu keberanian dan kecermatan pula dalam memulai komunikasi. Perlu mencoba dan terus mencoba untuk membina komunikasi itu. Lantas, kapan kita akan memulainya?