Wednesday, March 7, 2007

Cermin

Kawanku/30/2004


Di bawah tangisan langit aku melangkah diam dalam keheninganku. Entah mengapa aku merasa begitu sepi di tengah kesibukkan kota ini. Orang-orang sibuk lalu-lalang di sekitarku, berjalan melewatiku begitu saja. Dan akupun melangkah diam di sana. Samar-samar sepertinya aku mendengar kalimat yang tak asing lagi di telingaku. Kuhentikan langkahku dan melihat sekitarku. “Aih…lucu banget! Kalo gw yang pake cocok gak ya? Mau donk! Beli dimana lo? Kembaran yuk!” Sungguh, kalimat yang membuatku amat muak! Aku sempat berpikir, “asyik juga kalau sekali-kali ‘kembaran’ dengan seseorang yang mungkin saja akan menjadi sahabatku, seorang teman dekat yang senasib sepenanggunggan”. Akan tetapi, bila kalimat itu terlontar dari bibir Vannie, lain lagi ceritanya.
* * *
“Sa, si Ella kenapa sich?”
“Kenapa bagaimana?”
“Tau tuh, tumben-tumbenan dia nggak mau gue ajak makan. Lo tau sendirikan, tu anak nggak pernah nolak yang namanya makanan,” cerita Vannie menggebu-gebu.
“Dia baru makan kali,” jawabku asal tanpa melepaskan pandangan dari majalah di tanganku. Vannie tidak puas dengan jawabanku. Vannie berharap mendapat jawaban yang dapat memuaskan rasa ingin tahunya dariku, Sa, teman dekatnya yang akhir-akhir ini cukup akrab dengan Ella.
“Tapi dia ngomongnya nggak enak banget tadi. Pengen gue tonjok tu anak!” lanjut Vannie berapi-api. Rupa-rupanya suasana hati Vannie sepanas udara hari itu. Pagi-pagi buta matahari sudah tampak dan siang itu sinar panasnya amat menyilaukan. Untung saja tidak ada Joe di sana. Pantulan sinar mentari di kepalanya yang licin mungkin dapat membutakan mata.
“Ya udah, biarin aja, ntar juga dia cerita sendiri,” sahutku ringan masih dengan majalah yang menyembunyikan wajahku dari tatapannya. Vannie yang semakin kesal mendengar tanggapanku segera beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkanku duduk seorang diri di bawah pohon di lapangan parkir sekolah.
“Oh ya, Sa, kemaren gue baru beli baju kayak punya lo yang ada gambar Tazmanianya. Warna cokelat juga lho! Gue cari yang cokelat tua kayak punya lo tapi ga ada. Jadi gue beli yang agak terang aja,” cerocosnya riang sambil terus berlalu.
Sepeninggal Vannie, aku masih asyik melahap habis sebuah artikel yang tertulis dalam majalah di tanganku. Entah apa judul artikel itu, tapi yang pasti, isi artikel itu amat menarik, lebih menarik daripada ocehan Vannie. Begitu tekunnya aku membaca sampai-sampai aku tidak mendengar suara langkah kaki seseorang yang berjalan mendekatiku padahal biasanya pendengaranku setajam kelinci. Orang itu telah berdiri diam tepat di hadapanku, menungguku menyadari kehadirannya. Merasa ada seseorang di dekatku akupun berujar,
“Udahlah, ngga perlu dipikirin lagi, nanti juga cerita.”
“Emang gue mikirin apa, Sa?” Aku tersentak kaget dan menyingkirkan majalah dari pandanganku. Sosok seorang pemuda tegap kini terlihat jelas di mataku, Paco, salah satu teman seperjalanan pulangku.
“Welcome back, Sa! Lo kira gue siapa? Gue cuma mo tanya, lo ikut pulang bareng gue nggak? Kalau enggak gue tinggal, nich! Joe ga jadi pulang bareng kita,” kata Paco sambil berlalu.
“Woi! Tungguin gue donk! Gue kan mo ikut pulang bareng biar elo yang bayarin ongkos angkot gue. Lumayan kan… ngirit.” Sa bergegas menyambar ranselnya dan berlari menyusul Paco. Majalah itu dibiarkannya berkibar-kibar di tangannya.
“Eh, Sa, kembaran lo kenapa tuh? Tampangnya sewot banget.”
“Kembaran gue? Sejak kapan gue punya kembaran?” sahutku pura-pura tidak mengenali orang yang dibicarakannya karena kini aku enggan memiliki kembaran.
“Lho, Vannie? Bukannya dia kembaran elo? Elo kan kompak banget sama dia. Baju aja sering sama,” kata Paco dengan ekspresi bingungnya yang lucu. Memang, di sekolah aku dan Vannie sering terlihat bersama. Tak jarang pula kami bermain bersama ataupun menghadiri suatu acara bersama. Akan tetapi, bukan itu yang membuat kami dianggap kembar. Fisik kami jauh berbeda. Vannie tinggi dan aku biasa saja. Kulit Vannie agak kecoklatan terbakar matahari dan raut wajahnya sungguh mencerminkan ciri-ciri orang Jawa sejati. Sementara aku, menurut pandangan teman-temanku, mirip Miss Universe. Hanya saja aku terperangkap di kota ini sementara Miss Universe bebas mengunjungi seluruh dunia.
Anggapan bahwa Vannie adalah kembaranku bermula dari kejadian di awal tahun pelajaran ini. Di sekolah kami ada kebijakan bahwa siswa diperbolehkan mengenakan pakaian bebas di hari Sabtu. Waktu itu aku pergi ke sekolah mengenakan kemeja biru dan celana jins kebanggaanku. Semua bukuku telah tertata rapi dalam ransel biru baruku. Aku melangkah ringan sepanjang koridor menuju kelas. Namun, langkahku tertahan di ambang pintu kelas. Dari arah yang berlawanan seorang gadis melangkahkan kakinya ke arahku. Aku tercekat. Bagaimana tidak, penampilannya serupa denganku. Kemeja birunya, celana jinsnya, dan ransel di pundaknya benar-benar serupa dengan yang kupakai. Kulihat ia pun menghentikan langkahnya dan menatapku lekat-lekat. Kurasakan tubuhku melemas. Bagaimana mungkin seorang gadis di sekolahku berpenampilan sama persis denganku? Aku melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Celaka! Sudah tidak ada waktu lagi untuk pulang dan bertukar pakaian. Tampaknya gadis itu pun memikirkan dan melakukan hal yang sama. Bedanya, ia melirik jam miliknya yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Berpasang-pasang mata yang tertuju pada kami itu menatap heran, tak habis pikir. Pandangan itu beralih silih berganti menatapku dan anak baru itu dan serentak, tanpa komando, mereka berseru,
“Kembar ni ye...!” Aku tak dapat berkata sepatah katapun. Tanpa sadar, aku mengacak rambut yang telah tertata rapi di kepalaku. Anak baru itu menyandang sebuah nama yang manis, Vannie. Sejak saat itulah kami disebut kembaran.
Sebuah nama yang manis tidak selalu berarti si empunya nama tersebut juga berkepribadian menarik. Sejak kejadian itu kami memang menjadi dekat. Kami pun beranggapan bahwa mungkin mengasyikkan memiliki seorang “kembaran”. Dalam beberapa kesempatan kami mengenakan atribut yang mirip, tapi tidak sama persis. Aku tampil dengan gaya tomboiku sendiri dan Vannie dengan gaya femininnya.
Namun, lama kelamaan aku merasa tidak lagi bebas. Selalu ada Vannie yang membayang-bayangiku. Makin lama Vannie makin berani. Ia mulai meniru gayaku berpakaian, menggunakan kosmetika yang sama, bahkan memakai sabun yang sama denganku. Aku tak habis pikir melihat ulahnya. Segala hal yang menurutku baik, segala hal yang kuanggap cocok untuk diriku dianggapnya cocok pula untuk dirinya, sekalipun tidak semuanya cocok pada dirinya. “Tidak semua hal yang baik untuk seseorang juga baik untuk orang lain”. Sepertinya Vannie telah melupakan pepatah itu.
“Woi! Sa! Bengong aja! Bangun, Sa, bangun! Napa sich lo hari ini? Dari tadi bengong mulu.” Teriakan Paco di telingaku membawaku kembali dari ingatan masa lampau, tepatnya setahun yang lalu.
“Lo kalau jalan sambil bengong gitu ntar ketabrak mobil, kan gue yang repot!” sungutnya kesal.
“Biarin aja! Elo ini yang repot, bukan gue!”
“Tu kan, ini anak kalau dibilangin...ngeyel!”
“Iya, iya, elo gitu aja pake sewot segala! Elo juga sich pake nyebut-nyebut si Vannie kembaran gue segala lagi. Loe kan tau gue nggak pernah mimpi punya kembaran kayak dia!”
“Woi, woi! Sabar, mbak, becanda doank, sorry, sorry!” Kupercepat langkahku meninggalkan Paco yang masih sibuk terbengong-bengong menatap heran kelakuanku hari itu. Kudengar Paco mengumpat-umpat sambil sesekali meneriakkan namaku agar aku menunggunya. Aku semakin cepat melangkah dan mulai berlari menuju rumahku di ujung jalan itu.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke dalam kamar, menghempaskan diri ke atas kasur empuk, dan kupeluk bantal kesayanganku. Ingin rasanya kubanting pintu di belakangku keras-kerang, bang! Akan tetapi, kuurungkan niatku mengingat ceramah berkepanjangan yang akan terpaksa kudengarkan bila suara bantingan itu terdengar hingga ke ujung dunia. Ingin rasanya kujatuhkan deretan lilin harum yang berjajar rapi di atas meja kecilku. Muak rasanya membayangkan Vannie menata meja riasnya dengan koleksi lilin yang sama denganku. Muak rasanya membayangkan dia menghirup aroma yang sama dari wewangian yang sama yang kuhembuskan ke seluruh tubuhku yang juga digunakannya kini. Bosan rasanya aku melihatnya selalu menirukan gerak-gerik dan perkataanku di setiap suasana. Aneh rasanya melihat seseorang begitu ingin menjadi diriku sementara aku sendiri terkadang merasa tidak nyaman dengan diriku. Seseorang yang selalu membeli barang yang kubeli, seseorang yang selalu memakai barang-barang yang sama denganku, seseorang yang memaksa diri mengkonsumsi makanan yang kusuka meski sering kali lambungnya menolak, seseorang yang membuatku tidak nyaman menjadi diriku sendiri. Sungguh copy-cat! Anehnya, ia begitu bangga dengan dirinya ini meski dengan demikian ia kehilangan identitas dirinya. Ia bagaikan bayanganku dengan pribadi dasar yang berbeda. Ia tak ubahnya tiruanku dengan pribadi yang palsu, imitasi. Vannie yang palsu, Sa imitasi. Namun, ia bangga dengan semua itu.
Cukup sudah! Lelah aku dengan semua ini! Kutanggalkan seragam sekolahku ini, kukenakan pakaian kebesaranku, kaos oblong dan celana jins sobek, dan segera angkat kaki dari rumah. Cuaca di luar sedang tak bersahabat. Hujan turun dengan derasnya. Butiran-butiran air hujan membasahi sekujur tubuhku. Pandanganku mula kabur. Namun, aku terus melangkah, tanpa arah, entah kemana.
Genangan air hujan di bawah telapak kakiku seolah berputar membentuk suatu bayangan. Awalnya hanya kabut saja. Lama-kelamaan seuntas peristiwa seolah tergambar di sana. Peristiwa yang masih melekat erat dalam benakku. Bulan Desember yang lalu Vannie memberiku sebuah kartu natal. Di dalamnya tertulis kata-kata ini: “Semoga persahabatan kita kekal selamanya”. Kartu itu cukup manis bila saja yang tertulis di sana bukanlah kata-kata tersebut. Tidak, aku tak pernah menganggapnya seorang sahabat. Aku dan Vannie tak lebih dari seorang teman dekat! Seorang sahabat takkan pernah berusaha mati-matian meniru, mengimitasi, memalsu sahabatnya sendiri. Seorang sahabat akan turut senang, turut bangga bila sahabatnya memperoleh sesuatu yang baik bukannya iri atas segala yang diraih sang sahabat.
Segera saja kuinjak genangan air itu agar bayangan itu segera berlalu dari hadapanku. Akupun melangkah kembali melanjutkan perjalanku entah kemana. Kupalingkan wajahku dari jalanan yang penuh genangan air. Kutakut bayangan itu muncul kembali.
Di sudut mataku tertangkap sekilas bayangan sekelompok anak yang tengah mencuri-curi lihat melalui jendela sebuah toko kue yang terbuka. Tak terasa sebuah senyum tersungging, menarik sudut-sudut bibirku. Kubayangkan akulah yang berada di sana dengan Vannie di sampingku. Kuingat betapa sulitnya menahan air liur yang mendesak keluar dari mulut kami mencium sedapnya aroma pai lemon hangat yang matang. Seketika itu kami lekas-lekas melenyapkan diri dari pandangan koki yang sibuk mengeluarkan pai dari panggangan dan meletakkannya di jendela hingga pai itu cukup hangat untuk disantap. Setelah pai berada di tempatnya, biasanya kami saling bertukar pandang dan tesenyum nakal. Telinga kami dipasang tajam-tajam. Langkah dan suara sumbang koki tak lagi terdengar. “Aman. Siap? Pai lemon hangat, kami datang!” seru kami serentak. Pai lemon lenyap dan kami sibuk berlari menyelamatkan diri dari kejaran koki yang murka. Di bawah sebatang pohon apel tua yang rindang kami duduk menikmati pai lemon hasil rampasan sambil tertawa riang. Hangatnya pai lemon itu sehangat hubungan kami. Sungguh saat-saat yang menyenangkan.
Pandanganku beralih pada kaca-kaca etalase toko yang berderet rapi di sepanjang jalan. Di balik kaca-kaca itu tertata benda-benda imut nan cantik. Benda-benda itu kering dan hangat sementara aku masih berjalan tak tentu arah di bawah derasnya siraman hujan, basah dan kedinginan. Kaca itu basah. Butiran-butian air mengalir turun di atasnya. Butiran-butiran itu mengingatkanku pada butir-butir air mata yang pernah mengalir di pipiku. Sebutir mengalir turun, bersatu dengan yang lainnya dan bersama-sama terjatuh ke jalanan. Namun, butir-butir itu tidak sendiri. Mereka memang terjatuh, tapi tidak sendiri. Ada genangan air empuk yang siap menopang butiran-butiran yang terjatuh.
Sebutir mengalir di pipiku yang basah. Hangat, namun begitu hampa, begitu pedih. Sebuah nama terlintas dalam benakku, Vannie. “Lagi-lagi Vannie!” kataku membatin. Sebutir mengalir di pipiku. Butiran yang membawa jatuh perasaan gembira. Butiran yang sama yang pernah mengalir di pipiku waktu itu. Butiran yang mengalir karena Vannie.
Vannie ingin aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun, tindakannya saat itu masih terpeta jelas di benakku. Butiran itu dapat bercerita banyak tentang perasaanku saat itu. Dalam butiran itu termuat segala rasa sakit saat kutahu bahwa ia mempermainkan perasaan teman sepermainanku sejak kecil. Dalam butiran itu termuat rasa sedihku saat ia berkata,
“Sa, kemaren gue chatting sama Paco. Ternyata nggak cuma luarnya doank yang imut! Dia baik banget sama gue. Gue jadi sayang sama dia.” Mendengar itu, bagai tersambar petir, aku hanya bisa terpaku, diam seribu bahasa. Aku yakin Vannie mengerti betul posisi Paco. Rupa-rupanya kalimat itu saja belum cukup. Ia kembali membuka mulutnya dan katanya lagi,
“Sa, Paco buat gue aja ya…. Lo kan cantik, seksi banget pula. Ngga susah dech cari cowok baru. Lo tinggal pilih. Masih banyak yang ngantri lho…. Paco buat gue ya?!” Kurasakan wajahku begitu panas membara. Api amarah membakar seluruh jiwaku. Nammun, tiada kata dapat terucap. Kupalingkan wajahku. Sebutir mengalir jatuh. Aku tidak ingin Vannie melihat itu. Aku tak ingin mendengarnya tertawa senang. Dalam butiran itu juga termuat amarahku saat kutahu bahwa ia menginginkan segala yang kumiliki, bahwa ia ingin merebut semua itu dari tanganku. Vannie ingin menjadi seorang Sa.
Vannie ingin aku menganggapnya sebagai seorang sahabat. Namun, aku tidak bisa melakukan hal itu. Di mataku Vannie tak lebih dari seorang teman dekat, teman berbagi gosip dan tawa. Bukan sekali, bukan dua kali, tapi sering kali ia menyakitiku.
Kata orang perselisihan dalam pertemanan itu wajar. Kata mereka saling menyakiti dalam sebuah persahabatan itu sudah biasa. Kata mereka pula persahabatan berarti saling memiliki, milikmu adalah milikku, milikku adalah milikku, bukan milikmu. Tidak! Bukan persahabatan seperti itu yang kuinginkan. Sahabat bukanlah ia yang seringkali menyakitimu dan ia menyadari perbuatannya. Sahabat bukanlah ia yang selalu menginginkan dan mengambil segala milikmu. Seorang sahabat adalah ia yang akan membantumu bangkit dari keterpurukkanmu, bukanlah ia yang tertawa di atas penderitaanmu. Seorang sahabat adalah ia yang senantiasa mendorongmu maju, bukan ia yang berusaha keras menyurutkan niat baikmu. Sahabat adalah ia yang peduli padamu, tapi tidak posesif. Seorang sahabat adalah ia yang memberikanmu pilihan alternatif yang baik untukmu saat kau bimbang. Ia memberimu jalan keluar, tapi bukanlah seorang diktaktor.
Seorang sahabat adalah tempat kau dapat menemukan kejujuran. Sahabat adalah tempat kau dapat menemukan keterbukaan. Sahabat adalah tempat kau menemukan kenyataan. Pada Vannie tidak kutemukan kejujuran. Pada Vannie kutemukan kebohongan. Padanya kutemukan kemunafikkan. Ia menuntut agar aku terbuka padanya, tapi ia tak pernah mau terbuka terhadapku. Mungkin benar kata orang bahwa orang lain adalah cermin bagi kita. Namun, bagi Vannie, aku bukan hanya sebuah cermin yang menampilkan refleksi dirinya. Baginya, aku adalah seorang panutan yang wajib ditiru. Aku hanyalah cermin kemunafikkannya.
Sebutir lagi mengalri dan mengalir. Cepat kuseka wajahku, kuhapus air mata yang mengalir deras, bercampur dengan derai-derai hujan yang menerpa wajahku. Kuangkat kepala dan kuteruskan perjalanan dalam kesepian ini. Tiba-tiba saja secercah cahaya menyilaukan seolah membutakan mataku. Sesaat aku merasa melayang, begitu ringan, begitu damai.
Tunggu dulu! Untuk apa aku menyakiti perasaanku selama ini? Untuk apa membebani pikiranku dengan segala keberatanku akan Vannie? Bila aku adalah cermin baginya, mengapa aku tak pernah dapat menyadarkannya? Aku adalah Sa, cermin baginya untuk dapat mendapatkan kembali identitas dirinya. Yang perlu kulakukan hanyalah menjadi cermin penyadar baginya. Akan tetapi, bagaimana caranya? Teguran lembut diacuhkannya. Peringatan ringan tak didengarnya. Sindiran-sindiran tajam tak pernah diperhatikanya. Hanya satu yang kurasa, bosan.
Tiba-tiba sebuah ide melintas di benakku. Mungkin akan menjadi lebih baik jikalau kuhancurkan saja cermin itu. Tanpa cermin itu takkan ada lagi Vannie yang palsu. Tanpa cermin itu tak ada lagi Sa imitasi. Kupandangi sekeliling. Begitu putih, begitu lembut, begitu damai. Tak ada siapapun di sekeliling.
* * *
Darah merah segar berhamburan warnai genangan-genangan air yang berkilauan di jalan. Tubuh itu tergeletak tak bergerak. Orang-orang berdatangan guna memuaskan rasa ingin tahu mereka. Mereka berkerumun berdesakkan, menjengukkan kepala sejenak, dan segera berrpaling, melangkah pergi tak perduli.
Di bawah tangisan langit aku melangkah diam dalam keheninganku.. Orang-orang sibuk lalu-lalang di sekitarku, berjalan melewatiku begitu saja. Dan akupun melangkah diam di sana. Aku masih terus berjalan di jalan itu di bawah derasnya siraman hujan, masih di tengah keramaian yang sama, dan masih terasa sepi. Hanya satu hal yang kutahu dengan pasti. Cermin itu tak lagi ada. Dunia ini takkan lagi dipusingkan dengan keberadaan dua Sa. Dunia ini kini terbebas dari secuil kemunafikkan. Kini tiada lagi seorang Sa. Hanya ada seorang Vannie karena Sa telah pergi dan takkan pernah kembali.

No comments: