tag:blogger.com,1999:blog-83964540931786189952024-03-09T08:40:25.308+07:00Rnet's Palacea place to shout all out and learn fromaRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.comBlogger30125tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-19299130976803081852010-01-04T19:09:00.003+07:002010-01-04T19:13:43.064+07:00Satu untuk SeribuSepertinya judul di atas tepat untuk menceritakan Frans Seda ; pendiri Unika Atma Jaya dan ketua pembina Yayasan Atma Jaya hingga akhir hayatnya. Segudang persembahan beliau untuk Tuhan dan negara dapat dilihat diberbagai media. Saya hanya ingin sedikit berucap: Terima kasih. Terima kasih untuk segala karya, terima kasih untuk segala teladan. Terima kasih untuk segenap cinta.<br />Frans Seda telah tiada. Namun, cita-cita dan semangatnya takkan pernah pudar. Kami - segenap keluarga besar civitas akademika Unika Atma Jaya - siap bergandengan tangan melanjutkan perjuangan Frans Seda.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-77819449485192692642009-12-16T19:11:00.002+07:002009-12-16T19:29:28.642+07:00Buah Kebanggaan yang Tidak Pada TempatnyaKejadian itu terulang lagi. Tabrakan dengan pengendara motor berakhir maut. Ini kisah ketiga yang menjadi semakin dekat dengan diriku.<br />Beberapa tahun yang lalu, ayah angkatku menceritakan kisah kenalan dekatnya yang memperoleh kesembuhan setelah mengalami beberapa bulan koma setelah kecelakaan lalu lintas. Kala itu ia terjatuh dari motor, membentur trotoar, hingga mengalami pendarahan di dalam tengkorak. Operasi dilakukan. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit, menguras seluruh tabungan. Biaya perawatan di rumah sakit juga tidak murah. Dengan bantuan berbagai pihak, ia bisa sadar dan kembali beraktivitas seperti sedia kala tanpa gangguan fungsi otak. Hanya kehilangan sebelah penglihatan. Bayinya yang kala itu berusia sekitar tiga bulan tetap memiliki ibu kandung yang akan membesarkannya dengan penuh cinta. Ini kisah pertama. Kisah orang yang tidak kukenal.<br />Kisah kedua adalah kisah istri seorang teman. Setelah hampir seminggu terbaring koma, ia meninggalkan dua seorang putra berusia lima tahun dan seorang putri berusia belum genap 40 hari. Kejadiannya mirip: terjatuh dari motor. Kali ini akibat tabrakan dengan pengendara motor lain tanpa SIM yang memotong jalan hanya karena malas menempuh jarak jauh untuk memutar. Tragisnya, tragedi ini terjadi tepat dihari kelulusan putranya dari bangku TK.<br />Kisah ketiga adalah kisah paman saya yang dipanggil menghadap Bapa pagi ini. Kemarin seorang pengendara motor menabraknya ketika hendak menyeberang jalan persis di depan rumah. Tidak sampai 24 jam, hampir saja ia meninggalkan seorang istri dan dua orang putra berusia sekitar tujuh dan tiga tahun.<br /><br />Rasanya inilah buah kebanggaan yang tidak pada tempatnyaaRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-52992311021405029412009-11-12T18:02:00.003+07:002009-11-12T18:08:03.552+07:00petangPetang menyisakan kelam, menggiring asa pada imaji semata. Keheranan tak lekang dari benak sepeninggal dari Sudirman 51. Seminggu yang lalu. Tak ubah hasil unduhan dari YouTube, penglihatan sesaat itu terkenang jelas.<br /><br />Bayi itu masih merah ; semerah casing hp yang baru kubeli di jembatan siang itu.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-57115501345613341192009-11-12T18:02:00.002+07:002009-11-12T18:07:18.393+07:00PetangPetang menyisakan kelam, menggiring asa pada imaji semata. Keheranan tak lekang dari benak sepeninggal dari Sudirman 51. Seminggu yang lalu. Tak ubah hasil unduhan dari YouTube, penglihatan sesaat itu terkenang jelas.<br /><br />Bayi itu masih merah ; semerah casing hp yang baru kubeli di jembatan siang itu.<br /><br />(disambung kapan2 y..)aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-27898675536033311022009-05-26T11:55:00.002+07:002009-05-26T12:04:11.533+07:00Antara Hak dan Nama Baik<div align="left">ukan maksud mengajukan diri jadi pahlawan. Aku hanya ingin mengingatkan pihak-pihak terkait untuk lebih cermat dan menghindarkan jatuhnya korban dalam bentuk apapun.<br />* * *<br />Anggaplah aku tengah menghadiri sebuah pesta kebun. Meja minuman cocktail tak pernah sepi. Wanita-wanita dengan sundress warna warni bolak balik mengisi ulang gelas-gelas cocktail mereka. Para pria mendampingi, mengobrol ringan sambil menikmati hangatnya matahari dan pemandangan taman yang tertata apik. Tidak ada rumpun mawar. Hanya violet, aster, dan daisy, serta beberapa gerombol kemuning wangi.<br />Tibalah saat mengedarkan nampan berisi gelas champange. Untuk toast katanya. Beberapa detik yang mempersatukan. Panitia menjatah satu gelas untuk satu orang. Sudah disiapkan cermat sejumlah undangan yang disebar. Tak disangka, nampan kosong kembali dengan menyisakan beberapa hadirin tanpa gelas di tangan. Habis.<br />Toast harus dilanjutkan. Sebagian hadirin sudah mengangkat gelas. Panitia harus menanggung malu dan rasa tak enak hati. Apa yang akan Anda lakukan sedianya Anda adalah kerabat tuan rumah? Aku memilih menyingkir ke dalam, memberian gelasku pada tuan rumah agar si tamu dapat menyajikan setidaknya satu gelas lagi.<br /><br />Hal serupa dapat terjadi kapanpun dimanapun. Konflik kepentingan seperti ini bukan hal baru. Sebenarnya kita berhak untuk menolak memberikan “jatah” untuk orang lain – dalam cerita di atas: gelas champagne. Kita juga tamu. Namun, di sisi lain, kita juga turut bertanggung jawab atas nama baik tuan rumah. Rasanya diperlukan tindakan “penyelamatan” muka tuan rumah yang notabene juga menyelamatkan muka kita sebagai kerabat.<br />Anggaplah pesta kebun ilustrasi di atas dapat diselamatkan dengan catatan kecil korban. Anda sudah merelakan kealpaan Anda dalam adegan toast. Bahkan Anda turut bersyukur dan tertawa bersama mereka. Bagaimana perasaan Anda jika tiba-tiba di akhir pesta, anak sang tuan rumah mendekati Anda dan menjanjikan sesuatu sebagai kompensasi “pengorbanan” Anda? Ada rasa senang bahwa “pengorbanan” Anda dihargai. Secara manusiawi, harapan pemenuhan janji itu lantas berkembang.<br />Selang beberapa waktu, akhirnya salah satu anggota keluarga tuan rumah menemui Anda guna pemenuhan janji tadi. Anda mendapati ia datang hanya guna memberikan gelas champange pada Anda, dan berlalu.<br />Bukankah akan lebih baik jika pertemuan ini dimanfaatkan sebagai ajang untuk lebih saling mendekatkan diri? Kisah panik hari hampir celaka itu bisa jadi topik menarik. Misal, bagaimana bisa sampai terjadi kekurangan. Lantas bagaimana kekurangan lainnya diatasi. Sayangnya dalam ilustrasi ini hal itu tidak terjadi.<br />Apa jadinya jika saat itu beberapa tamu yang tidak mendapat gelas terpaksa tersingkir dari acara? Apa yang akan mereka katakan pada orang luar? Terlebih jika mereka adalah atasan Anda atau orang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat. Malu. Meskipun seandainya mereka mengemas cerita hari itu dengan humor komedi, tetap saja nama baik tuan rumah dan keluarga tercoreng. Mungkin lain dampaknya jika kejadian serupa terjadi di belahan Eropa atau Amerika yang tidak sekarib Indonesia dalam pergaulan sosial.<br />Dua hal yang ingin saya sampaikan dengan penuturan ini:<br />1. Perencanaan cermat<br />2. Komunikasi efektif<br />Saya percaya dengan komunikasi yang baik, banyak hal dapat diatasi dengan baik pula. Permasalahan dapat diselesaikan dengan lebih lancar. Penerimaan akan “penyimpangan” pun akan lebih baik. </div><div align="left"> </div><div align="left"> </div><div align="left"></div><div align="left">Sudirman, 26 Mei 2009</div><div align="left">gundah dua minggu terakhir</div>aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-79725720928874209512009-05-17T08:48:00.002+07:002009-05-17T08:58:40.230+07:00Mengalahkan atau Memperjuangkan MimpiSaya percaya tidak ada anak yang tidak pernah ditanya cita-citanya. Bahkan Ria Enes menuangkannya dalam lagu yang masih saya dengar sesekali. "Susan, Susan, Susan, besok gede mau jadi apa?" Setiap orang diajari membangun mimpinya sejak kanak-kanak. Mengapa? Saya tidak tahu persis kajian ilmiahnya. Yang saya tahu persis, mimpi itu memberi daya. Mimpi itulah yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu dan terus berjuang. Hidup tanpa mimpi sama saja mati.<br />Sayangnya, seiring berjalannya waktu, setiap orang "dipaksa" menggeser mimpinya.Atau bahkan mengubur dalam-dalam. Mimpi hanyalah mimpi. Terutama ketika mimpi pribadi bertabrakan dengan mimpi orang lain yang superior dalam hidup kita. Kita terpaksa mencecap pahitnya kehancuran mimpi. Pilihan lain adalah keluar dari pertabrakan mimpi dengan resiko kehilangan "mimpi" atau ideal yang lain.<br />Lantas, untuk apa kita diajari membangun mimpi. Saya hanya tahu satu hal: untuk terus hidup dan menghidupi kehidupan dengan lebih bermakna; bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar. Untuk saling menyesuaikan dan membangun mimpi bersama, lalu menjalani mimpi itu bersama.<br />Kini saatnya memilih: mimpi mana yang akan dijalani.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-5275833437330849912009-04-03T09:33:00.003+07:002009-04-03T10:58:36.846+07:00ImajiAku berlari dan berputar. Berputar dan berputar. Berharap seluruh dunia berputar bersamaku. Mengikutiku. Tapi mereka diam. Tak bergeming. Aku kembali berputar dan berputar lebih kencang, abaikan rasa pusing yang mulai menyergap. Tapi mereka tetap diam. Tak peduli berapa kalipun aku berputar, dimanapun aku berputar.<br /><br />Aku mulai berteriak, berteriak sembari berputar. Berharap teriakanku mampu menggetarkan mereka turut berputar bersamaku. Namun, mereka tetap diam.<br /><br />Tentu saja mereka tetap dim. Untuk apa memusingkan seseorang yang sibuk memutar diri tanpa sebab dan tujuan. Ia yang tak bermakna. Ia yang bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat pemerintahan, bukan tokoh masyarakat. Bukan selebriti atau bintang olah raga. Bukan pemenang kejuaraan, bukan pembawa perubahan. Bukan siapa-siapa.<br /><br />Ia hanya seorang aku yang berputar dan berputar, tanpa sebab dan tujuan. Hanya ingin memecahkan kepala dan meleburkan hati. Mengamburkan segala isi dan kembali ke titik nol.<br />Niat awal berubah jadi imaji, ketika putaran tak lagi memusingkan, ketika teriakan tak lagi memekakkan. Yang tersisa hanyalah hening. Dan imaji. Kini segalanya dapat kulihat dalam tenang. Seperti menonton televisi. Mulanya berwarna, perlahan berubah jadi hitam putih. Tapi lebih nikmat begii. Hitam putih. Tak ada abu-abu. Biar saja ruang ini penuh dengan kotak penghasil titik-titik cahaya pembentuk gambar itu. Biar ia memenuhi ruang. Tak ada benda lain di sini. Benarkah? Ya, kotak televisi itupun hanya imaji, disusun dari ribuan titik hampa yang dipadatkan sehingga dapat diproyeksi retina. Tanpa suara. Namun, cukup menenangkan.<br />Satu persatu muncul refleksi bentuk. Mulanya saling menumpuk, lalu mulai memisahkan diri. Saling menyesusikan bentuk dan ukuran. Otomatis. Seperti program komputer yang tak pernah dapat kumengerti. Seperti menyusun foto secara otomatis dengan memanfaatkan menu yang ditawarkan picasa. Berderet-deret, sedikit menumpuk, menimbun yang tak berbentuk, menampilkan rekaman-rekaman terbaik.<br /><br />Rekaman? Benarkah rekaman? Rekaman itu hasil merekam. Berarti ada objek dan ada alat merekam. Tak kutemukan objek itu. Ada dimana mereka? Lalu, dimana alat perekamnya? Sepeti apa? Kamera foto kah? Kamera film? Bukan. Hasil kamera tidak seperti itu. Yang ini tanpa suara. Abstrak, namun sesekali membentuk sesuatu. Sesekali bergerak, sesekali diam tanpa maksud. Benarkah tanpa maksud? Ah, tak peduli.<br /><br />Untuk apa berpikir? Ini bukan saatnya berpikir. Bukan saatnya mengingat penjelasan guru atau dosen. Bukan saatnya mengerjakan kuis atau ujian. Bukan waktunya berdiskusi. Bukan waktunya berkarya. Kini waktunya menikmati. Menikmati yang ada di sekeliling. Menikmati imaji yang berloncatan ke sana ke mari.<br /><br />Jangan berpikir. Jangan bertanya. Nikmati saja. Biarkan hanyut dalam imaji dan kau pun jadi bagian dari imaji, bagian dari refleksi.<br /><br />Lentur, tapi cukup padat untuk dibentuk. Berwarna, tapi juga kehilangan warna. Tetap indah karena imaji. Fleksibel, tak terbatas ruang dan waktu. Tak terbatas bentuk dan ukuran. Hanya imaji. Tanpa bentuk dan isi. Namun, dapat memenuhi ruang dalam sekejab, secepat mengosongkan ruang, tak peduli betapa sempit atau luasnya ruang. Karena aku hanyalah imaji.<br />Dalam imaji aku adalah si pembaharu. Dalam imaji, aka adalah yang terpenting. Semua menghormati pemikiran dan mendengarkan argumentasiku. Berani mendebat, tapi bukan eyel-eyelan. Mengasah rasa dan pengertian.<br /><br />Dalam imaji aku hanyalah orang biasa yang dapat menghilang kapanpun kuinginkan. Dalam imaji aku adalah sama dengan mereka. Tertawa bersama, bergerak bersama, diam bersama. Dalam imaji aku unik sekaligus umum. Spesifik sekaligus general.<br /><br />Semua hanya terjadi dalam imaji. Dunia tak perlu berputar bersamaku tuk ciptakan imaji. Hanya butuh sedikit waktu sendiri, mengisolir dirisekejap, dan berputar. Terus berputar. Dan inilah aku. Berputar-terur berputar, hanyut dalam imaji, tak hendak kembali dalam dunia di mana semua diatur dalam plot; jam sekian melakukan ini, jam sekian berlaku itu. Dalam imaji yang ada hanyalah aku yang kumau. Berlaku semauku.<br /><br />Sayang, semua hanya dapat terjadi dalam imaji. Imaji yang menghidupkan sekaligus menenggelamkan. Selamat berimaji.<br /><br /><br /><br />Sudirman, 02 April 2009 pk. 08.46<br />Di ruang kerjakuaRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-77235344106516661672008-12-28T22:25:00.000+07:002008-12-28T22:28:17.992+07:00Reuni KetigaTiga tahun yang lalu saya tertawa sinis ketika perkuliahan membahas teori konformitas. Ada sedikit rasa jijik terselip dan tekad membuktikan diri bahwa konformitas itu dapat saya minimalisir dalam hidup keseharian saya. Namun, yang terjadi pada akhir pekan lalu memaksa saya mengakui kebenaran teori itu sebenar-benarnya.<br />Pada dasarnya setiap orang membutuhkan rasa ”sama dengan lingkungan” atau merasa menjadi bagian dari suatu komunitas, apapun jenisnya. Berada di suatu komunitas dan diterima sebagai bagian dari komunitas membuat individu merasa dihargai, merasa memiliki daya yang lebih untuk melakukan sesuatu. Sebaliknya, penolakan dari lingkungan sekitar membuat individu merasa aneh, berbeda, dikucilkan, dan akhirnya kehilangan kemampuan berkarya.<br />Penerimaan yang saya rasakan ketika hadir seorang diri di acara komunitas kami semasa sekolah mampu membuat saya merasa begitu berharga. Tampaknya semua kesalahan selama proses pembelajaran tentang hidup yang kami alami semasa sekolah dulu tak lagi menjadi masalah. Proses lanjutan yang kami lalui memampukan kami (terutama saya) menertawai masa suram ketika itu. Kebersamaan singkat petang itu membuahkan kesadaran dan energi baru yang semoga saja bukan hanya saya yang mengalaminya.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-8394296631139138652008-12-11T18:59:00.002+07:002008-12-11T19:06:16.396+07:00Sudah hampir dua bulan aku mencicip profesi M&PR. Menyenangkan, menantang, sedikit mengerikan. Masih membuatku kerap kikuk dan manja. Minta ditemani senior, enggan maju sendiri. Satu kebimbangan, inikah dunia yang ingin kugeluti? <br />Para senior kerap berbaik hati berbagi pengalaman dan tips seputar dunia kerja. Beberapa kali mereka berkata, masa mencicipi suatu profesi terbatas waktu dua tahun. Selebihnya akan sulit berpindah lahan. Hanya saja, untuk menentukan lahan yang tepat butuh kompromi hati. Itu yang belum kutemukan caranya. Mungkin ini eforia sesaat. Harus cepat memutuskan.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-69513521453277220022008-12-11T18:49:00.003+07:002008-12-11T18:59:03.158+07:00Tertular...Pagi ini rekan saya memasuki ruang kerja kami membawa aura yang berbeda. Senyumnya tak lepas dan wajahnya sumringah. Bahagia. Gerakkannya lincah, mengingatkanku pada anak seorang teman yang entah mengapa tiba-tiba lekat padaku seakhir pekan kemarin. Penuh energi, meluap-luap, mendesak disebarkan.<br />Sederhana, tapi mampu mengisi ulang energiku yang mulai kendor. Sesekali mengeluh dan kembali tersenyum melihat polahnya. Ah, ia yang sedang menguasai dunia dengan cintanya...aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-30851051925177237092008-05-06T08:25:00.002+07:002008-05-06T08:45:05.699+07:00In MemoriamAroma dupa masih tercium dari rambutku. Aroma yang melekat siang tadi di perkuburan rupanya enggan melepaskanku begitu saja. Padahal aku tak pernah menyukainya. Selalu saja kukuatkan hati menahan napas ketika ada dupa dibakar di sekitarku. Langkah selalu kupercepat ketika melewati rumah peramal nasib yang hanya berjarak dua blok dari rumahku. Sengaja kumencari tempat agak jauh dari altar saat perayaan ekaristi agung, sekadar menjauhkan diri dari hembusan angina yang membawa aroma dupa merasuk rongga hidung. Bahkan aku selalu menolak menemani nenek buyut berdoa ketika kami masih tinggal bersama lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Aku hanya tidak ingin menghirup asap dupa yang tak pernah terlupa diayunkan nenek buyut sembari berdoa.<br />Namun, aku sering meminjam dupa itu sebelum dibakar dan meniru nenek buyut mengayun-ayunkannya di depan altar kecil di rumah kami. Menyenangkan rasanya mengayun-ayunkan batangan dupa merah itu. Lebih menyenangkan lagi, setelah puas mengayun, selalu ada paman yang siap menggendongku lantaran altar dan tempat menancapkan dupa batangan itu terlampau tinggi. Kala itu usiaku belum genap lima tahun. Begitu paman menyalakan dupa yang kutancap tadi, tanpa dikomando aku melarikan diri sejauh mungkin. Biasanya ke pekarangan, lantas mengajak anjing mengejar ayam-ayam kate peliharaan kami. Bocah.<br />Tahun-tahun berlalu. Tidak ada lagi dupa batangan merah yang tertancap menyala di altar itu. Nenek buyut telah berpulang dan tak ada yang meneruskan ritual tersebut, meskipun sekurang-kurangnya lima kali setahun keluargaku dan ribuan umat lain terpaksa menghirup aroma serupa dari dupa bakaran yang dipersembahkan dalam perrayaan ekaristi agung. Simbolis saja. Asap dupa yang mengangkasa diasosiasikan dengan lantunan doa-doa yang dipanjatkan, diharap sampai juga kepada Sang Maha. Tapi, tetap saja, aku tak menyukai aromanya.<br />Kali ini aku terlalu malas untuk membasuh rambut, mengganti aroma dupa dengan harum mint shampoo yang kusuka. Perjalanan pulang satu jam tadi terasa seabad. Rasanya tenagaku tercecer di setiap bongkah kerikil beraspal yang kulewati. Bongkah-bongkah kerikil yang memisahkanku dari peristirahatan kekal seorang teman.<br />Baru beberapa minggu yang lalu aku masih duduk bersamanya mengelilingi meja yang sama, membahas hasil kerja bersama dalam rapat rutin triwulan kami. Baru sebulan yang lalu aku berkumpul bersama teman-teman sepermainan di rumahnya yang kami jadikan markas. Ketiga anak lelakinya tentu bergabung bersama, bahkan si sulung itulah kepala regu kami.<br />Masih sulit kupercaya bahwa baru saja kami menyaksikan raganya disimpan rapi dibalik bongkahan tanah merah bertabur bunga. Belum ada satu minggu sejak kuhadiri doa untuk ketenangan arwah seorang nenek dari teman. Sehari sesudahnya, sms teman lain kuterima. Informasi lain seputar duka cita. Seorang teman sekelas sewaktu SMP meninggal karena leukemia. Jadilah minggu ini kuiisi dengan berkeliling rumah duka dan pemakaman.<br />Letih yang menghinggapi badan membuatku bertahan dan segera terlelap ketika berhasil mengunci pintu rumah dan mencapai kamar tidurku. Aroma yang melekat di rambut tak mampu menunda ritual istirahat malamku. Hmm… kali ini aroma dupa membuka celah bagi rasa yang lain. Rasa rindu.<br /><br /><br />* * *<br /><br /><span style="font-size:78%;"></span><br /><span style="font-size:78%;">In memoriam Jeannet Ananda, Subianto Setio, & Leonardi Lintang</span>aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-55736538986652397602008-03-04T19:43:00.000+07:002008-03-04T19:46:21.679+07:00Salah Siapa?(written @ July'07)<br /><br />Di tengah kericuhan berbagai peristiwa musibah nasional, sudah hampir sebulan ini kekisruhan terjadi di tempat saya bekerja paruh waktu. Salah seorang diantara kami, sebut saja “A”, merasa kecewa terhadap seseorang pekerja lain. A merasa ia ditikam dari belakang oleh, sebut saja ”B” sampai empat kali. Entah apa permasalahannya. Beberapa tanggapan kemudian bermunculan. Ada yang merasa salut pada si A yang mampu tetap bersikap ramah pada B jika keduanya bertemu; meski menurut pengakuan A sikapnya itu hanyalah bentuk profesionalismenya dalam bekerja. Ada pula yang merasa heran dengan kekecewaan si A yang sudah menjurus pada dendam.<br /><br />Saya pribadi sepakat dengan rekan yang mempertanyakan si A. Saat kita merasa disakiti oleh orang lain, belum tentu yang bersangkutan merasa telah berbuat salah pada kita. Jika itu yang terjadi, dan kita membiarkan orang itu tetap tidak mengetahui bahwa kita tersakiti oleh perkataan atau tindakannya, sampai kapanpun masalah tidak akan terselesaikan. Kita akan tetap sibuk dengan rasa sakit hati, sibuk merancang upaya balas dendam. Sementara dia melanjutkan hidup dengan tenang. Melihat ketenangannya itu kita akan semakin terpancing emosi. Akibatnya mudah ditebak. Sepintar apapun, seteguh apapun kita menjalankan profesionalisme kerja, suasana kerja tentu terpengaruh. Suasana kekeluargaan yang diidamkan dan diharapkan mampu meningkatkan profesionalisme dan kinerja kerja tentu tidak akan tercipta.<br /><br />Lantas apa yang harus dilakukan. Lagi-lagi komunikasi yang menjadi andalan. Duduk tenang dan membicarakan semuanya baik-baik tampaknya merupakan awal dari jalan keluar yang baik. Bukan untuk mencari siapa yang salah atau menuntut permintaan maaf dari salah satu pihak. Namun, lebih pada pengungkapan perasaan, pikiran, mengkomunikasikannya hingga tercapai pengertian dan kesepahaman. Pengungkapan perasaan dan pemikiran itu sama pentingnya dengan komunikasi itu sendiri. Perasaan yang ditahan dan dipendam tak ubahnya bom waktu yang siap meledak kapan saja. Soal ini akan saya jabarkan lebih lanjut di lain kesempatan. Berangkat dari situlah alternatif pemecahan masalah dapat dicari bersama, penyelesaian yang mampu mengakomodir kepentingan semua pihak dan memulihkan hubungan baik yang pernah ada.<br /><br />Bagaimana kita dapat menyelesaikan masalah atau mengobati sakit hati jika orang yang menyakiti kita tidak mengetahui bahwa kita tersakiti? Jika kita bersikeras memendam segalanya sendiri dan menolak untuk berkomunikasi, salah siapa jika kita semakin tersakiti sementara orang lain baik-baik saja?<br /><br />Perlu disadari bahwa tidak semua orang memiliki kepekaan yang amat tinggi atau kemampuan membaca pikiran orang lain. Perlu keberanian dan kecermatan pula dalam memulai komunikasi. Perlu mencoba dan terus mencoba untuk membina komunikasi itu. Lantas, kapan kita akan memulainya?aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-51349394615001579952007-12-19T17:25:00.000+07:002007-12-26T10:50:05.548+07:00Refleksi akhir tahun 2007Refleksi akhir tahun 2007<br /><br />Hari itu kami baru merampungkan kerja selama sebulan terakhir. Dalam perjalanan pulang, perbincangan bersama teman seperjalanan memberiku kenyataan baru. Kisah yang selama ini hanya kudengar dari para dosen sebagai contoh kasus dalam penjelasan materi di kelas kini hadir dihadapan.<br />Bermula dengan pembicaraan seputar karir seusai kulah, obrolan mlebar hingga mempertanyakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. “Gue masih belum menemukan apa fungsi laki-laki selain fungsi biologis.”<br />Sulit bagi saya untuk berkomentar menanggapi pertanyaan ini. Saya masih berpegang teguh bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan untuk memenuhi fungsi bagiannya masing-masing kemudian saling melengkapi, saling mengisi kekosongan. Sehebat-hebatnya seorang laki-laki, tentu ada sisi yang perlu dipenuhi seorang perempuan, siapapun perempuan itu. Bisa jadi ibunya, saudaranya, rekan kerja, rival, atau pasangan hidupnya, bahkan anaknya. Tapi saya kehilangan kata dalam rangkaian. Jadinya hanya diam.<br />“Gue suka kesel sama cowok yang pernah nyakitin cewek. Buat apa punya cowok klo Cuma disakitin. Toh lo juga bisa sendiri. Gue masih belom nemu apa fungsinya cowok… Dari pada saling nyakitin ya udah, lo-lo, gue-gue,” laanjutnya agak sengit. Saya tergelitik. Teman yang berkata ini bukanlah teman yang kukenal sebagai orang yang anti berpasangan. Sampai tulisan ini saya buat pun ia masih berstatus “single, but not available”. Bagaimana bisa ia berkomentar demikian? Sebuah pertanyaan klarifikasipun kuajukan padanya, “Hm.. jadi, lo pacaran itu buat apa? Apa karena lo pengen mengalami yang temen-temen lo alami atau karena situasi lingkungan yang semuanya seperti itu, jadi lo juga pengen seperti itu?”. “Pada akhirnya begitu,” jawabnya singkat.<br />Bagi teman seperjalanan saya kali itu, pacaran atau berpasangan hanyalah bagian dari upaya konformitas. Ia ingin diterima lingkungan. Ia ingin dianggap norma, selain juga merasakan keinginan untuk merasakan kesenangan yang kerap diungkapkan teman seusia yang tengah menjalani hubungan itu.<br />Upaya konformitas semacam ini tentu bukan hal asing bagi kita. Siapapun, dimanapun selalu berusaha “menjadi sama” dengan lingkungan agar dapat diterima. Untuk itu peraturan dibuat dan ditaati. Konformitas juga membentuk identitas yang dipilih individu untuk dilekati. Contoh di atas rasanya sudah cukup menjelaskan. Kini tinggal bagaimana kita menjalani konformitas itu.<br />Ketakutan kehilangan identitas biasanya mendasari seseorang melakukan konformitas. Dengan bersikap kritis seseorang dapat diterima di sebuah komunitas diskusi yang intelek. Dengan demikian ia berani meng-claim bahwa dirinya berasal dari kalangan pendidikan. Ia seorang yang kritis. Ia akan cenderung terus mengasah sikap kritis tersebut dengan membaca media yang sekiranya membantu. Koran, misalnya. Ia juga akan menghindari membaca komik karena takut akan ejekan jika orang lain mengetahui bacaannya “kurang bermutu” sehingga ia kehilangan identitas sebagai kaum intelektual.<br />Sayangnya, konformitas seringkali menimbulkan konflik dalam diri. Sebagai kalangan “kelas atas”, wine dan branded thing menjadi must have item. Sementara sebenarnya individu tersebut lebih memilih minum kopi tubruk di warteg, bercelana jins belel yang nyaman ketimbang bersikap elegan dengan tuxedo di ballroom. Jika ia menuruti keinginannya, tentu ia akan dicap sebagai orang berselera rendah dan didepak dari komunitas kelas atas. Ia pun akan kehilangan identitas sebagai anggota komunitas itu dan kehilangan akses dalam beberapa hal terkait.<br />Contoh lain, seorang anak anggota geng pelajar tertentu. Ia harus bersikap sama dengan kelompoknya jika tidak ingin dikeluarkan dan menjadi bulan-bulanan kelompok itu meskipun kerap ia tidak memberikan hatinya. Konformitas menjadi upaya untuk “bertahan hidup”.<br />Lantas, apakah konformitas juga berarti komunisme? Individu tidak lagi memiliki identitas diri. Semua sama. Mulai dari dandanan, potongan rambut, hingga cara pegang sendok di kala menyantap makanan jatah dengan porsi sama persis hingga gram-nya. Semua sama rata, sama rasa. Persis halnya jaman Gorbachev berkuasa.<br />Tentu tidak. Konformitas bukanlah upaya cloning. Pertama, konformitas dilakukan atas dasar suka rela. Namanya juga suka rela, individu yang bersangkutan memilih bentuk konformitas sesuka dan serelanya. Ia bisa memilih untuk berkonform hanya dalam hal tampilan fisik sementara individu lain memilih untuk berkonform dalam hal cara duduk. Dasarnya kebebasan. Individu tetap memiliki kebebasan memilih kelompok mana yang ingin dimasuki berikut jenis konformitas yang diperlukan untuk menjadi bagian dari kelompok tersebut.<br />Kedua, kornformitas dalam satu hal tidak lantas membuat seluruh identitas individu hilang, melebur dalam kelompok. Dengan bergabung dalam satu sekolah an mengikuti segala aturan yang berlaku di sekolah tersebut, bukan lantas membuat seluruh hidup individu dikungkung aturan tersebut. Sepulang sekolah, ia tetap menjadi anggota kelompok sepermainannya yang memiliki peraturan main sendiri. Misalkan untuk mengikut pelajaran di sekolah ia diwajibkan mengenakan seragam, ketika bermain di kelompoknya di luar sekolah, ia dapat mengenakan topi khas kelompoknya. Individu yang sama melakukan konformitas dalam dua kelompok yang berbeda. Ia tetap diterima dalam kelompok tanpa kehilangan jati dirinya.<br />Tentu ini tidak berlaku bagi individu yang memilih untuk memiliki kelekatan sempurna dengan sebuah kelompok. Fanatik.<br />Menjelang tahun yang baru. Mungkin ini saat yang tepat untuk memilah bentuk konformitas yang akan dilakukan berikutnya. Juga menetapkan identitas yang sesuai dengan diri dan berjuang untuk identitas impian secara realistis. Saya tidak sedang menyalahkan siapapun. Tidak juga menhyalahkan teman seperjalanan tadi atas pilihannya untuk berkonformitasi. Saya hanya ingin mengingatkan diri untuk tidak menipu diri atas perasaan sendiri dan mengaji ulang semua yang telah diputuskan. Dengan kata lain, refleksi akhir tahun.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-54847478926875793252007-11-18T22:19:00.000+07:002007-11-18T22:23:50.655+07:00Take and GivePada prinsipnya, menerima dan memberi (take and give) adalah tindakan yang timbal balik. Mulanya seseorang menerima sesuatu dalam kehidupannya. Ia menerima kehidupan dari keluarga dikala masih tak berdaya. Pemberian itu lantas dibagikan pada orang lain dan akan berbuah. Dengan memberi, ia pun menerima.<br />Prinsip inilah yang hendak diterapkan dalam konteks bekerja. Karyawan yang telah diberikan kesempatan bekerja oleh perusahaan hendaknya membalas pemberian itu dengan menampilkan kinerja maksimal. Kinerja yang maksimal itu kemudian akan dihargai pula oleh perusahaan berupa gaji yang pantas, penghargaan prestasi, promosi, dan berbagai bentuk penghargaan lainnya. Sebaliknya, jika karyawan tidak memberikan yang terbaik yang ada dalam dirinya, ia tidak bisa mengharapkan perusahaan akan memberikan balasan yang tinggi.<br />Dalam teorinya, Victor Vroom mengatakan, ”kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi individu tersebut.”<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8396454093178618995#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>. Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak sekali pekerja tidak termotivasi pada pekerjaannya dan semata-mata melakukan yang minimum diperlukan untuk menyelamatkan diri.<br />Kunci untuk teori harapan adalah pemahaman tujuan-tujuan seorang individu dan keterkaitan antara upaya dan kinerja, antara kinerja dan gajaran, dan akhirnya antara ganjaran dan dipuaskannya tujuan individual. Teori harapan mengakui bahwa tidak ada asas yang universal untuk menjelaskan motivasi semua orang.<br />Teori harapan ini memang lebih tepat jika diperuntukkan bagi pemahaman manajerial. Namun, upaya pemahaman teori ini hendaknya juga diimbangi dengan pengembangan persepsi karyawan bahwa dengan semakin baik kinerja (semakin banyak keluaran yang diberikan pada perusahaan), akan semakin baik pula ganjaran yang diterimanya – terlepas dari apakah ganjaran itu mampu memenuhi atau memuaskan kebutuhan individu yang bersangkutan.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=8396454093178618995#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a> Stephen Robbins.Perilaku Organisasi (Jakarta: P.T. Indeks Kelompok Gramedia, 2003) halaman 229.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-42632383799517801042007-11-12T00:20:00.000+07:002007-11-12T00:32:25.631+07:00PenataanTampaknya sebuah tempat sampah tidak baik jika diisi berbagai jenis sampah. Mengingat kepentingan lingkungan jangka panjang, ada baiknya pemilahan sampah dilakukan. Begitu juga pemililahan tulisan. Tampaknya blog ini akan lebih banyak memuat tulisan seputar penulisan, psikologi, atau sosial terbatas. Foto-foto perjalanan hasil hunting dan tulisan seputar budaya dan alam tampaknya akan diletakkan di rajawalikecil.multiply.com. Sekadar memberi label lebih jelas pada situs pribadi. Selamat menikmati ^.^aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-78741083183270562932007-11-12T00:04:00.000+07:002007-11-12T00:17:13.497+07:00sekelumit AQSuatu perusahaan didirikan tentunya untuk mencapai suatu target (goal). Pencapaian target itu membutuhkan upaya sinergi dari seluruh elemen perusahaan. Untuk itu dibutuhksn tenaga kerja yang dengan kesadaran penuh berkehendak berjuang bersama mencapai target tersebut.<br />Sayangnya tidak semua pekerja memiliki ambisi dan daya juang dalam kapasitas yang sama. Menurut Stoltz ada tiga tipe pekerja:<br />1. Quitters<br />2. Campers<br />3. Climbers<br />Quitters adalah tipe pekerja yang menyerah sebelum bertanding. Ketika melihat tingginya gunung yang harus didaki, ia berkata pada dirinya dan orang lain bahwa ia tidak akan mampu mendaki sampai ke puncak. Ia pun memilih untuk tidak mulai mencoba. Ia memilih hanya duduk di bawah.<br />Pekerja dengan tipe Quitters adalah pekerja yang selalu menghindari tantangan, serupa dengan pekerja tipe X pada teori McGregor. Ia selalu berupaya mencari tempat yang aman. Ia ingin memperoleh kondisi yang lebih baik, tapi ia enggan berusaha. Ia memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur, dan berhenti. Mereka menolak kesempatan yang diberikan oleh tantangan. Hidupnya akan stagnan pada tingkat terbawah.<br />Tipe pekerja Campers adalah tipe pekerja yang berani mencoba mengambil langkah pertama. Meskipun ragu, ia memberanikan diri untuk mulai melangkah. Ada usaha untuk maju. Di tengah pendakian, Campers menemukan tempat yang nyaman untuk beristirahat. Tempat itu rindang dan teduh. Campers kemudian memutuskan untuk tinggal lebih lama di tempat itu dan tidak pernah melanjutkan pendakiannya.<br />Tempat teduh yang nyaman untuk beristirahat itu diibaratkan sebagai pekerjaan yang tengah dijalani saat ini. Pada posisi ini kehidupan masih bisa dilangsungkan dan pekerja cukup puas dengan pencapaiannya. Ia tidak ingin lebih sementara pada dirinya masih terdapat banyak potensi yang dapat dikembangkan.<br />Tipe ketiga adalah tipe Climbers. Climbers adalah pendaki sejati. Ia tidak akan berhenti terlalu lama pada satu titik sebelum mencapai puncak. Ia akan beristirahat seperti Campers, tapi akan meninggalkan Campers untuk kembali mendaki jika dirasa waktunya tepat. Dengan upaya maksimal, Climbers akan mencapai puncak dan menikmati hasil usahanya.<br />Seorang Climbers adalah orang yang berani mengambil langkah pertama dan terus melanjutkan melangkah hingga tujuannya tercapai. Climbers telah menetapkan misi di awal dan bergerak menuju target tersebut. Ada kalanya ia berhenti pada satu titik atau satu posisi pekerjaan. Namun, ia akan segera mendaki kembali. Ia hanya beristirahat sejenak, menikmati pencapaian usahanya dan berjuang lagi mencapai target.<br />”Climbers adalah orang yang seumur hidup membaktikan diri pada pendakian tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan, atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climbers adalah pemikir yang selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan, dan tidak pernah membiarkan umur, jenis kelamin, ras, cacat fisik, atau hambatan lain menghalangi pendakiannya.” (Stoltz, 2000:20). Pekerja tipe Climbers-lah yang akan sukses meniti karir dan dapat menikmati hasil kerja kerasnya.<br /><br /><br />referensi:<br />Stoltz.(2000).Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.Jakarta: Grasindo.<br /><a href="http://www.peaklearning.com/">http://www.peaklearning.com</a><br /><a href="http://www.climbingschool.com/">http://www.climbingschool.com</a><br /><a href="http://winstonbrill.com/">http://winstonbrill.com</a><a href="http://institutmahardika.com/">http://institutmahardika.com</a>aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-24679655299146183812007-10-23T20:17:00.000+07:002007-10-23T20:34:21.286+07:00Individualitas vs keadilanLama tidak meng-up date, seorang teman mulai mengejek hehehe...<br /><br />Well, mengingat kejadian hampir sebulan yang lalu.<br />Setiap orang iciptakan dengan keunikan masing-masing. tidak ada rumus baku yang dapat menampung semua kebutuhan setiap orang jangankan setiap orang, setiap anggota komunitas tentu pantas untuk diperlakukan berbeda, sesuai dengan kebutuhannya. Apa lantas itu berarti ketidakadilan? Dalam kasus tertentu tentu saja tidak.<br />Kasus yang hendak saya bahas pada kesempatan ini lebih pada pemberian hukuman. Saya setuju dengan teori behavioral bahwa interaksi dengan lingkungan dapat membentuk suatu perilaku individu. Hukuman ataupun komentar kecil yang ditujukan pada individu oleh individu lain dapat berbeda efeknya. Sebagai contoh, peristiwa menjatuhkan barang. Individu A dapat dengan tak pedulinya melengos pergi begitu saja dan baru bersedia membereskan barang tersebut setelah seluruh ruangan memaki-maki. Individu B, hanya dengan reaksi spontan orang-orang menengok padanya setelah mendengar bunyi jatuh barang tersebut sudah merasa amat malu hingga ingin menghilang dari dunia detik itu juga.<br />Untuk individu tipe A tentu perlu campur tangan lingkungan untuk membantunya berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Bagi individu B yang memiliki tingkat kesadaran diri (awareness) yang tinggi, ia tidak memerlukan teguran dalam bentuk apapun dari orang lain. Reaksi spontan menengok atau tersenyum tanpa kata sudah cukup menjadi peringatan baginya. Jika lingkungan bereaksi lebih dari itu, memarahinya atau bahkan menghukumnya, ia akan merasa sangat kesal karena sesungguhnya ia tidak membutuhkan peringatan keras semacam itu.<br />Singkatnya, ada waktunya untuk memperlakukan individu secara berbeda, sesuai dengan individualitasnya masing-masing.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-75316890864428722332007-06-14T14:52:00.000+07:002007-06-14T15:09:13.552+07:00Menanti Arisan =pSehari berjaga untuk box. Hari terakhir pengembalian formulir gelombang IV. Terlalu sepi untuk ukuran kami. Belum lagi salah seorang rekan tengah dirawat di rumah sakit karena Demam berdarah. Satu-satunya penghiburan hanyalah kehadiran rekan-rekan PMB mulai dari PMB 7-9. Kebersamaan-kekeluargaan yang selalu menyenangkan! Tak sabar menanti pertemuan arisan PMB berikutnya.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-29068416426457024092007-05-13T17:21:00.000+07:002007-05-13T17:23:14.214+07:00Waktu yang TepatKapankah?aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-78734667738163989722007-05-06T20:14:00.000+07:002007-05-06T20:51:41.284+07:00Menjaga MutuMasih, bernuansa Hari Pendidikan Nasional, orang-orang sibuk meributkan mutu pendidikan di Indonesia, termasuk meributkan alokasi dana pendidikan dari APBN. Institusi pendidikan dituntut untuk begini dan begitu. Semua ini semakin memicu keresahan saya mencuat ke permukaan. Keresahan yang sudah tiga tahun terakhir ini saya rasakan dan hanya mampu saya ributkan pada teman-teman sekomunitas. Ini perihal tuntutan tersedianya sumber daya manusia yang profesional.<br />Melihat proses pembelajaran dan pendidikan para calon pengajar dan pendidik di segala bidang membuat saya seolah berlari dalam roda marmut. Saya yakin Anda pernah melihat marmut kecil yang berlari di dalam roda di kandangnya. Persis seperti itu yang saya rasakan.<br />Saya akan coba mulai dari tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan tenaga profesional. Menyadari kebutuhan akan pendidikan yang menjadi semakin <em>crucial</em>, masyarakat secara langsung maupun tak langsung menuntut berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang bermutu lagi terjangkau. Namun, tidak mudah mencari tenaga pengajar dan pendidik yang betul-betul memenuhi kualifikasi bermutu. Pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan meningkatkan prasyarat mutlak pendidikan minimal. Untuk itu, institusi pendidikan yang telah berjalan berupaya memenuhi standar tersebut dengan memberi sarana pada para tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang dipersyaratkan. Dampaknya ada dua. Nantilah saya uraikan lebih lanjut.<br />Tidak puas dengan tenaga "tua", masyarakat juga menuntut tersedianya bibit-bibit baru yang dinilai lebih modern, lebih moderat, meninggalkan cara pendidikan lama yang "kolonial banget". Sayangnya, proses pendidikan para calon pendidik ini terpaksa diinterupsi oleh para pendidik senior yang tidak mau begitu saja meninggalkan gaya mapan mereka. Memang tidak sepenuhnya. Ada kalanya mereka menuntut pula para calon pendidik ini untuk mengikuti perkembangan jaman. Hanya saja, cara mereka menuntut tidak dibarengi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam porsi yang seimbang. Alhasil, sia-sialah upaya kreatif itu. Dan terasa belum cukup hanya memotong dan menyalakan, mereka juga tidak diberi gambaran jelas tentang rincian tuntutan itu. Hasilnya, lagi-lagi gaya kolonial itu yang ditiru para calon pendidik. Lagi-lagi masyarakat dikecewakan.<br />Itu baru dari segi gaya pendidikan dan pengajaran. Dari segi jumlah tenaga pendidik lain lagi masalahnya. Paradigma lama (yang sayangnya masih menjadi fenomena saat ini) masih menghantui: jadi guru = ????. Dan menempuh studi di fakultas pendidikan sama saja dengan mematikan masa depan. Padahal, untuk menjadi seorang pendidik tidak hanya dapat ditempuh melalui jalur formal: jadi guru. Menjadi orang tua juga berarti menjadi pendidik bagi anak-anak mereka. Menjadi seorang atasan berarti menjadi pendidik bagi bawahan. Menjadi rekan kerja berarti menjadi teman didik (peer tutor). Dalam segala segi kehidupan. Dan ilmu pendidikan pun praktis dapat diterapkan di berbagai apek kehidupan, di berbagai profesi. Namun, tetap saja bidang disiplin ini dipandang sebelah mata. Berlanjutnya paradigma ini tentunya mempertahankan kecilnya jumlah tenaga profesional pendidikan yang ada.<br />Mengapa anak muda tidak tertarik pada bidang ini? Atau, aspek apa yang sekiranya dapat menarik minat anak muda dalam bidang ini? Tenaga pengajar yang ada? (yang kolot itukah?) Sistem pendidikan yang ada? (yang berubah tiap tahun, berubah sebelum sistem berlajan stabil dan menghasilkan?) Lantas apa?<br />Akhirnya, mutu seperti apa yang bisa kita harapkan? Bagaimana meningkatkannya???aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-38368881147518495612007-04-27T14:12:00.000+07:002007-04-27T15:50:10.732+07:00Perasaan & Katarsis<em>Feeling, nothing more than feeling..,tying to forget...</em> Lirik lagu lama yang terkadang masih terngiang. Memang, <em>s</em>ulit untuk melupakan hal-hal tertentu yang menyangkut perasaan. Rasa gembira yang amat sangat atau pengharapan ataupun ketika keduanya berpaling menjadi kekesalan atau bahkan kesedihan mendalam sekalipun menjadi tak terlupakan. Sekalipun berhasil memendamnya, sentilan kecil yang kembali menimbulkannya kepermukaan mampu menguras perasaan yang sama.<br />Namun, pakem ini tidak berlaku bagi seorang rekan saya. Kegagalan koneksi internet telah menghapus pesan elektronik yang hendak dikirimkannya pada rekan lain terhapus begitu saja. Padahal surat elektronik itu ditulisnya dari hati selama dua jam! Betapa kesalnya dia. Mungkin hal ini bukanlah masalah besar bagi orang lain. Namun, tidak demikian bagi individu yang sulit untuk mengungkapkan perasaannya seperti rekan saya ini.<br />Perasaan yang dipendam dapat meledak sewaktu-waktu. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan katarsis. Katarsis ini dapat bermacam-macam rupanya. Mulai dari sekedar bercerita, menulis diary, tertawa keras, memeluk seseorang, memukul atau meninju sesuatu, pergi meninggalkan lokasi, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan tertentu. Dengan melakukan katarsis, perasaan dapat tersalurkan dan emosi dapat kembali stabil. Dengan demikian individu yang bersangkutan dapat berpikir lebih tenang dan melanjutkan harinya.<br />Jika katarsis tertunda berbagai macam hal dapat terjadi. Sebagian individu yang tidak mampu sepenuhnya mengontrol perasaan bisa jadi tertekan. Efeknya pun bisa jadi panjang. Kini tinggal bagaimana kita memilih cara untuk katarsis.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-80933093846664323652007-04-19T08:53:00.000+07:002007-04-19T08:54:55.615+07:00KentutTulisan lama yang baru kini mendapat giliran dipublikasi hehehe...<br /><br />1639-1836/0780805<br /><br />Kentut<br /><br />Siapa tak suka kentut? Kau? Aku suka. Kentut itu nikmat. Bayangkan bila sehari saja kau tak bisa kentut. Duh, sengsaranya... . Perutmu buncit, keras, hampir meledak rasanya. Begitu kentutmu melintasi ambangnya..hm...kau pun kan bernapas lega. Tidak percaya? Cobalah tahan kentutmu sepanjang hari bila kau kuat. Kurang kerjaan katamu? Katanya kau butuh bukti... .<br />Pagi ini kentut mengawali hariku sekaligus membantuku menghindar dari dosen yang kubenci. Pasalnya? Aku kentut di ruang kuliah. Mulanya dosen masuk dan membagikan hasil ujian tengah semester kemarin. Melihat nilai yang tertera di kertas ujianku, perut terasa mual seakan ada yang masuk dan dugem di dalamnya. Sedetik kemudian aku kentut. Tanpa suara tentunya. Aku sudah berlatih belasan tahun untuk dapat kentut tanpa suara. Ekspresi mukapun sudah kulatih dengan tekun. Begitulah kentutku yang pertama hari itu mengudara. Bayangkan saja ruangan 4x5m dipenuhi dinginnya penyejuk udara beraroma kentut. Tanpa menunggu lebih lama, dosen segera membubarkan kelas.<br />“Absensinya bagaimana, pak?” tanya seorang rekan mahasiswa berteriak.<br />“Sudah semua,” jawabnya balas berteriak, mengacungkan amplop cokelat berisi kertas-kertas ujian kami, sambil terus berjalan cepat menuju ruang dosen. Maksudnya tentu bila mahasiswa itu hadir, berkas ujiannya sudah berpindah tangan. Dari situlah absensi dilakukan.<br />Aku, sebagaimana mahasiswa malas lainnya bersorak senang punya waktu luang tambahan selama dua jam. Sebagian lainnya sibuk bertanya,<br />“Masak hanya karena seorang kentut saja perkuliahan harus dibubarkan? Lantas, untuk apa datang pagi-pagi? Untuk apa bayar uang kuliah? Huh...”. Ya...benar juga, mengapa bisa semudah itu membubarkan kuliah? Belakangan aku tahu, ternyata pagi itu dosen tersebut juga kentut di ruang kuliah, mungkin bersamaan denganku. Dengar-dengar lagi,pagi itu sang dosen sarapan semur jengkol. Pantas ia membubarkan kelas begitu saja, malu bila tersebar bahwa kentutnya begitu memabukkan. Sebuah keberuntungan bagiku, tak perlu mengaku dan menanggung malu atas kentutku. Ha ha ha... .<br />Bingung hendak kemana, kuayunkan kaki menuju kantin dan memesan semangkuk mie ayam. Kantin terasa lengang, tentu saja, sementara sebagian besar mahasiswa masih berusaha menahan kantuk mendengar dosen berceramah. Tak sampai lima menit semangkok mie ayam tersaji di hadapan.<br />Melihat potongan ayam yang bertaburan di atas mie, aku teringat pesan teman-teman beberapa waktu lalu. Jangan makan ayam! Flu burung! Apa lagi flu burung jelas-jelas sudah menelan korban di daerah tempat tinggalmu! Betapa perhatiannya teman-temanku itu. Memang, aku tinggal bersama keluargaku di daerah Serpong yang sempat heboh dengan kasus flu burung. Rumahku hanya berselang beberapa gang saja dari rumah korban, bahkan.<br />Namun, rupanya aku masih tak dapat melepaskan kenikmatan makan ayam. Apakah aku tak takut mati? Lantas apa yang aman untuk dimakan? Daging sapi dengan resiko anthrax? Daging babi dengan cacingnya? Kambing dengan kolesterolnya? Sayur-sayuran dengan pestisidanya? Aku memilih bernyanyi, “sudah biarkan aja..” dan tetap makan semuanya.<br />Pedasnya mie membentuk bulir-bulir keringat memenuhi dahi. Sambal yang sama tampaknya juga menaikkan suhu di perutku dan merangsang sensasi kentut.. Tak ubah balon yang ditiup, udara mengembang yang memenuhi perutku memaksa untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Sedetik kemudian, sekelompok mahasiswa putri yang baru saja bergabung di meja yang kutempati beberapa menit yang laluberanjak bangkit dari duduknya dan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tangan mereka tampak kewalahan mengumpulkan barang-barang milik sambil berusaha menghalau aroma kentut dari lubang hidung. Aku hanya tersenyum dalam hati. Hidung berairku secara otomatis mencegah kentut yang telah kukeluarkan kembali masuk dalam tubuh lewat sistem pernapasan. Sayang juga, pemandangan indah berlalu dari hadapan. Namun, tetap, sensasi kentut lebih memuaskan.<br />Setelah menandaskan mangkok mie dan membayarnya, kaki kulangkahkan menuju perpustakaan. Kantuk mulai menyerang seiring penuhnya perut dan udara yang semakin panas. Sejuknya ruang perpustakaan sungguh tepat menjawab keinginanku untuk terlelap, bila saja aku diberi sedikit ruang untuk duduk di sofa tengah yang kini terisi pebuh atau sedikit waktu untuk menempelkan kepala di meja. Baru saja mata terpejam dan mulut membuka lebar, sebuah buku setebal hampir lima centi singgah di kepala.<br />“Duh, kira-kira dunks..sakit niey...klo benjol gimana,” semprotku manja. Manja? Ya, manja. Oh ya, belum kukatakan, aku tengah menekuni seni peran dan bergabung dengan teater kampus. Peran yang akan kubawakan pada pentas berikut adalah seorang waria. Jadi, jangan heran bila kau berpapasan denganku di koridor kampus, aku bertingkah ‘aneh’.<br />“Geuleuh pisan<a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8396454093178618995#_ftn1" name="_ftnref1">[1]</a>..hi..,” sahut temanku bergidik.<br />“Udah lah..mulai aja yuks..sejam lagi gw ada rapat,” timpal yang lain. Jadilah pagi menjelang siang itu kami berkutat denganfaktur, jurnal, neraca, saldo, dan tetek bengek-nya. Sekian menit berlalu. Rupanya efek sambal mie tadi ditambah cemilan semalam, biji beton<a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8396454093178618995#_ftn2" name="_ftnref2">[2]</a>, masih terasa. Aku pun mengeluarkan kentut yang ketiga di hari itu. Hasilnya? Bisa ditebak. Pengguna perpustakaan langsung semaput, tak terkecuali petugas-petugasnya. Seheboh itukah? Hehehe..tidak segitunya...minimal teman-teman belajarku langsung mengibaskan tangan berusaha menjauhkan aroma kentut dari diri mereka.<br />Apa katamu? Aku terkesan bangga dengan kentutku? Oh, tentu...berkat kentutku kami dijauhi nyamuk, semut, dan serangga lainnya ketika kemping dalam rangka ospek fakultas. Tentu saja waktu itu tak seorangpun tahu akulah yang kentut. Bagaimana caranya? Aku tidak akan mengatakannya padamu. Nanti kamu menyontek caraku. Ingat, hak cipta dilindungi undang-undang.<br />Kau sebal padaku? Karena aku suka kentut? Hei, aku tidak selalu kentut sembarangan. Kentut itu ada seninya. Dan kalau kau berbicara dari sudut pandang medis, kentut itu baik. Tahukah kau amanat para dokter pada pasiennya yang baru saja menempuh operasi? Yups, jangan makan apapun sebelum bisa kentut. Ha...betul kan..?<br />Kisah kentut ini sebenarnya masih dapat dijabarkan panjang lebar. Namun, melihat mukamu yang hijau kebiruan itu, lebih baik kusudahi dahulu cerita ini. Dan, satu saran dariku, kentutlah, kau akan merasa lebih baik.<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn1" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8396454093178618995#_ftnref1" name="_ftn1">[1]</a>Sunda: menggelikan sekali<br /><a title="" style="mso-footnote-id: ftn2" href="http://www2.blogger.com/post-create.g?blogID=8396454093178618995#_ftnref2" name="_ftn2">[2]</a> biji nangka yang dimasak dan dikonsumsi sebagai makanan ringanaRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-12934033149423096392007-04-19T08:42:00.000+07:002007-04-19T08:48:31.202+07:00GaptekAkhirnya hari ini saya berhasil juga memasukan tulisan dalam "body post" ini. Sebelumnya berkali-kali mencoba, yang berhasil ditampilkan hanya judulnya saja. Saya masih ingin ngulik blogger ini dan menambahkan pernak-pernik lucu. sayangnya, beberapa kali mencoba, tapi belum berhasil! Hahaha... Ada yang bisa membantu? Ada yang punya cukup waktu dan tenaga menghadapi ke-gaptek-anku? Hehehe...<br />Seorang teman juga menyebut-nyebut soal "portal". Mahluk apa lagi itu? Portal yang saya tahu hanyalah nama rumah makan favorit kami semasa sekolah: Bakmi Portal yang lokasinya dekat sekolah.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-40261842458272565922007-04-19T08:37:00.000+07:002007-04-28T17:24:14.028+07:00Di Luar LingkaranSegala sesuatunya akan tampak lebih sederhana dan mudah dimengerti ketika kita berada di luar masalah. Pengamat yang tidak terlibat secara emosional akan dapat lebih berpikir jernih ketimbang di pelaku. Mudah rasanya berkata ”jangan libatkan emosi” ketika kita menasehati klien. Namun, ketika kita sendiri yang menghadapinya emosi seolah tak terbendung.aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8396454093178618995.post-56126644652816567352007-03-11T22:56:00.000+07:002007-04-19T08:36:42.707+07:00Self RoleWag the Dog. Itu judul film yang diputar di HBO minggu malam lalu. Menonton film itu saya jadi agak kesal dengan industri perfilman. Presiden dan kondisi negara diatur sedemikian rupa agar tampak heroik demi pengumpulan suara menjelang pemilu untuk mempertahankan status quo. Sang sutradara (dibintangi Dustin Hoffman) mengonstruksi jalannya kondisi yang ada tak ubahnya sebuah film yang tengah disutradarainya. Bagaimana mungkin presiden takluk pada sutradara? Semudah itukah? Saya teringat lirik lagu yang populer diawal tahun 90-an. ”Dunia ini panggung sandiwara.” Di setiap kesempatan selalu saja ada orang-orang tertentu yang menyetir jalannya peristiwa sementara orang-orang lain mengikuti alur naskah yang ditulisnya. Improviasi bisa saja dilakukan, tapi tetap seijin sutradara dan produser. Sadar tidak sadar, mau tidak mau menyadari dan mengakui, itulah yang terjadi. Untuk memperoleh nilai baik di sekolah atau predikat sebagai murid baik bahkan murid teladan, selain bermodal otak, kita harus pintar-pintar mengambil hati para pengajar. Begitu juga di bangku kuliah. Untuk mendapatkan posisi di senat mahasiswa atau organisasi lainnya, kita harus dapat memenuhi tuntutan pihak-pihak tertentu. Entah pihak mahasiswa ataupun pihak universitas. Tuntutan itu termasuk bagaimana cara kita bersikap dan berperilaku. Bahkan cara berpikir. Hal yang sama terjadi di dunia karir. Promosi jabatan akan lebih mudah diperoleh jika kita dapat memainkan peran dengan baik, menjadi karakter individu yang diinginkan atasan. Dengan kata lain, bermain peran. Permainan peran itu kerap disamarkan dengan kata profesionalisme. Sebenarnya apa arti kata profesional? Tak jauh dari melakukan spesifikasi pekerjaannya dengan tepat, berlaku dan bertindak sesuai dengan karakter dari peran yang dimainkan. Namun, kadang kita menggunakan kata profesionalisme tersebut untuk menutupi kelemahan diri. Kadang kita berupaya sedapat mungkin mematikan pikiran dan perasaan untuk dapat memaikan peran sesempurna mungkin seolah tidak ada hal buruk yang terjadi. Ketika perselisihan terjadi, kita berupaya menampilkan diri tetap ceria dan ramah meski selepas itu mengutuki habis-habisan orang tertentu. Bukannya menyelesaikan persoalan, malah lari dari masalah dan berkata, ”Saya hanya bersikap profesional”. Itukah profesional. Memang, pada dasarnya diri manusia tidak dapat dipisahkan dari perannya. Ada lima komponen dalam konsep diri manusia, yakni gambaran diri (body image), harga diri (self esteem), identitas diri (self identity), ideal diri, dan peran diri (self role). Peran diri inilah yang dijalankan manusia sepanjang rentang kehidupan. Sejak kecil ia memainkan peran sebagai anak, sebagai kakak atau adik. Lantas mulai berkembang, selain sebagai seorang anak, individu yang ama juga dapat berperan sebagai seorang teman, seorang murid, seorang anggota tim olah raga, atau apapun peran lain yang dimainkannya.<br />Kelihaian individu bermain peran menentukan pula kesuksesannya bertahan hidup. Orang yang gagal memainkan perannya akan dibuang. Bahkan dalam pembuangannya itu ia tetap harus bermain peran menjadi orang buangan. Peran itu baru akan berakhir jika sang sutradara agung berkata ”that’s a rub” dan organ-organ vital berhenti berdenyut.<br />Akhirnya saya sampai pada kesimpulan betapa setiap manusia dibentuk menjadi aktor dan aktris kawakan. Untuk para aktor dan aktris yang telah menjadi selebriti, harap waspada. Lahan Anda dapat dibajak!aRnethttp://www.blogger.com/profile/05073377536464421925noreply@blogger.com3