Feeling, nothing more than feeling..,tying to forget... Lirik lagu lama yang terkadang masih terngiang. Memang, sulit untuk melupakan hal-hal tertentu yang menyangkut perasaan. Rasa gembira yang amat sangat atau pengharapan ataupun ketika keduanya berpaling menjadi kekesalan atau bahkan kesedihan mendalam sekalipun menjadi tak terlupakan. Sekalipun berhasil memendamnya, sentilan kecil yang kembali menimbulkannya kepermukaan mampu menguras perasaan yang sama.
Namun, pakem ini tidak berlaku bagi seorang rekan saya. Kegagalan koneksi internet telah menghapus pesan elektronik yang hendak dikirimkannya pada rekan lain terhapus begitu saja. Padahal surat elektronik itu ditulisnya dari hati selama dua jam! Betapa kesalnya dia. Mungkin hal ini bukanlah masalah besar bagi orang lain. Namun, tidak demikian bagi individu yang sulit untuk mengungkapkan perasaannya seperti rekan saya ini.
Perasaan yang dipendam dapat meledak sewaktu-waktu. Oleh karena itu, diperlukan suatu tindakan katarsis. Katarsis ini dapat bermacam-macam rupanya. Mulai dari sekedar bercerita, menulis diary, tertawa keras, memeluk seseorang, memukul atau meninju sesuatu, pergi meninggalkan lokasi, bahkan sampai melakukan tindak kekerasan tertentu. Dengan melakukan katarsis, perasaan dapat tersalurkan dan emosi dapat kembali stabil. Dengan demikian individu yang bersangkutan dapat berpikir lebih tenang dan melanjutkan harinya.
Jika katarsis tertunda berbagai macam hal dapat terjadi. Sebagian individu yang tidak mampu sepenuhnya mengontrol perasaan bisa jadi tertekan. Efeknya pun bisa jadi panjang. Kini tinggal bagaimana kita memilih cara untuk katarsis.
Friday, April 27, 2007
Thursday, April 19, 2007
Kentut
Tulisan lama yang baru kini mendapat giliran dipublikasi hehehe...
1639-1836/0780805
Kentut
Siapa tak suka kentut? Kau? Aku suka. Kentut itu nikmat. Bayangkan bila sehari saja kau tak bisa kentut. Duh, sengsaranya... . Perutmu buncit, keras, hampir meledak rasanya. Begitu kentutmu melintasi ambangnya..hm...kau pun kan bernapas lega. Tidak percaya? Cobalah tahan kentutmu sepanjang hari bila kau kuat. Kurang kerjaan katamu? Katanya kau butuh bukti... .
Pagi ini kentut mengawali hariku sekaligus membantuku menghindar dari dosen yang kubenci. Pasalnya? Aku kentut di ruang kuliah. Mulanya dosen masuk dan membagikan hasil ujian tengah semester kemarin. Melihat nilai yang tertera di kertas ujianku, perut terasa mual seakan ada yang masuk dan dugem di dalamnya. Sedetik kemudian aku kentut. Tanpa suara tentunya. Aku sudah berlatih belasan tahun untuk dapat kentut tanpa suara. Ekspresi mukapun sudah kulatih dengan tekun. Begitulah kentutku yang pertama hari itu mengudara. Bayangkan saja ruangan 4x5m dipenuhi dinginnya penyejuk udara beraroma kentut. Tanpa menunggu lebih lama, dosen segera membubarkan kelas.
“Absensinya bagaimana, pak?” tanya seorang rekan mahasiswa berteriak.
“Sudah semua,” jawabnya balas berteriak, mengacungkan amplop cokelat berisi kertas-kertas ujian kami, sambil terus berjalan cepat menuju ruang dosen. Maksudnya tentu bila mahasiswa itu hadir, berkas ujiannya sudah berpindah tangan. Dari situlah absensi dilakukan.
Aku, sebagaimana mahasiswa malas lainnya bersorak senang punya waktu luang tambahan selama dua jam. Sebagian lainnya sibuk bertanya,
“Masak hanya karena seorang kentut saja perkuliahan harus dibubarkan? Lantas, untuk apa datang pagi-pagi? Untuk apa bayar uang kuliah? Huh...”. Ya...benar juga, mengapa bisa semudah itu membubarkan kuliah? Belakangan aku tahu, ternyata pagi itu dosen tersebut juga kentut di ruang kuliah, mungkin bersamaan denganku. Dengar-dengar lagi,pagi itu sang dosen sarapan semur jengkol. Pantas ia membubarkan kelas begitu saja, malu bila tersebar bahwa kentutnya begitu memabukkan. Sebuah keberuntungan bagiku, tak perlu mengaku dan menanggung malu atas kentutku. Ha ha ha... .
Bingung hendak kemana, kuayunkan kaki menuju kantin dan memesan semangkuk mie ayam. Kantin terasa lengang, tentu saja, sementara sebagian besar mahasiswa masih berusaha menahan kantuk mendengar dosen berceramah. Tak sampai lima menit semangkok mie ayam tersaji di hadapan.
Melihat potongan ayam yang bertaburan di atas mie, aku teringat pesan teman-teman beberapa waktu lalu. Jangan makan ayam! Flu burung! Apa lagi flu burung jelas-jelas sudah menelan korban di daerah tempat tinggalmu! Betapa perhatiannya teman-temanku itu. Memang, aku tinggal bersama keluargaku di daerah Serpong yang sempat heboh dengan kasus flu burung. Rumahku hanya berselang beberapa gang saja dari rumah korban, bahkan.
Namun, rupanya aku masih tak dapat melepaskan kenikmatan makan ayam. Apakah aku tak takut mati? Lantas apa yang aman untuk dimakan? Daging sapi dengan resiko anthrax? Daging babi dengan cacingnya? Kambing dengan kolesterolnya? Sayur-sayuran dengan pestisidanya? Aku memilih bernyanyi, “sudah biarkan aja..” dan tetap makan semuanya.
Pedasnya mie membentuk bulir-bulir keringat memenuhi dahi. Sambal yang sama tampaknya juga menaikkan suhu di perutku dan merangsang sensasi kentut.. Tak ubah balon yang ditiup, udara mengembang yang memenuhi perutku memaksa untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Sedetik kemudian, sekelompok mahasiswa putri yang baru saja bergabung di meja yang kutempati beberapa menit yang laluberanjak bangkit dari duduknya dan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tangan mereka tampak kewalahan mengumpulkan barang-barang milik sambil berusaha menghalau aroma kentut dari lubang hidung. Aku hanya tersenyum dalam hati. Hidung berairku secara otomatis mencegah kentut yang telah kukeluarkan kembali masuk dalam tubuh lewat sistem pernapasan. Sayang juga, pemandangan indah berlalu dari hadapan. Namun, tetap, sensasi kentut lebih memuaskan.
Setelah menandaskan mangkok mie dan membayarnya, kaki kulangkahkan menuju perpustakaan. Kantuk mulai menyerang seiring penuhnya perut dan udara yang semakin panas. Sejuknya ruang perpustakaan sungguh tepat menjawab keinginanku untuk terlelap, bila saja aku diberi sedikit ruang untuk duduk di sofa tengah yang kini terisi pebuh atau sedikit waktu untuk menempelkan kepala di meja. Baru saja mata terpejam dan mulut membuka lebar, sebuah buku setebal hampir lima centi singgah di kepala.
“Duh, kira-kira dunks..sakit niey...klo benjol gimana,” semprotku manja. Manja? Ya, manja. Oh ya, belum kukatakan, aku tengah menekuni seni peran dan bergabung dengan teater kampus. Peran yang akan kubawakan pada pentas berikut adalah seorang waria. Jadi, jangan heran bila kau berpapasan denganku di koridor kampus, aku bertingkah ‘aneh’.
“Geuleuh pisan[1]..hi..,” sahut temanku bergidik.
“Udah lah..mulai aja yuks..sejam lagi gw ada rapat,” timpal yang lain. Jadilah pagi menjelang siang itu kami berkutat denganfaktur, jurnal, neraca, saldo, dan tetek bengek-nya. Sekian menit berlalu. Rupanya efek sambal mie tadi ditambah cemilan semalam, biji beton[2], masih terasa. Aku pun mengeluarkan kentut yang ketiga di hari itu. Hasilnya? Bisa ditebak. Pengguna perpustakaan langsung semaput, tak terkecuali petugas-petugasnya. Seheboh itukah? Hehehe..tidak segitunya...minimal teman-teman belajarku langsung mengibaskan tangan berusaha menjauhkan aroma kentut dari diri mereka.
Apa katamu? Aku terkesan bangga dengan kentutku? Oh, tentu...berkat kentutku kami dijauhi nyamuk, semut, dan serangga lainnya ketika kemping dalam rangka ospek fakultas. Tentu saja waktu itu tak seorangpun tahu akulah yang kentut. Bagaimana caranya? Aku tidak akan mengatakannya padamu. Nanti kamu menyontek caraku. Ingat, hak cipta dilindungi undang-undang.
Kau sebal padaku? Karena aku suka kentut? Hei, aku tidak selalu kentut sembarangan. Kentut itu ada seninya. Dan kalau kau berbicara dari sudut pandang medis, kentut itu baik. Tahukah kau amanat para dokter pada pasiennya yang baru saja menempuh operasi? Yups, jangan makan apapun sebelum bisa kentut. Ha...betul kan..?
Kisah kentut ini sebenarnya masih dapat dijabarkan panjang lebar. Namun, melihat mukamu yang hijau kebiruan itu, lebih baik kusudahi dahulu cerita ini. Dan, satu saran dariku, kentutlah, kau akan merasa lebih baik.
[1]Sunda: menggelikan sekali
[2] biji nangka yang dimasak dan dikonsumsi sebagai makanan ringan
1639-1836/0780805
Kentut
Siapa tak suka kentut? Kau? Aku suka. Kentut itu nikmat. Bayangkan bila sehari saja kau tak bisa kentut. Duh, sengsaranya... . Perutmu buncit, keras, hampir meledak rasanya. Begitu kentutmu melintasi ambangnya..hm...kau pun kan bernapas lega. Tidak percaya? Cobalah tahan kentutmu sepanjang hari bila kau kuat. Kurang kerjaan katamu? Katanya kau butuh bukti... .
Pagi ini kentut mengawali hariku sekaligus membantuku menghindar dari dosen yang kubenci. Pasalnya? Aku kentut di ruang kuliah. Mulanya dosen masuk dan membagikan hasil ujian tengah semester kemarin. Melihat nilai yang tertera di kertas ujianku, perut terasa mual seakan ada yang masuk dan dugem di dalamnya. Sedetik kemudian aku kentut. Tanpa suara tentunya. Aku sudah berlatih belasan tahun untuk dapat kentut tanpa suara. Ekspresi mukapun sudah kulatih dengan tekun. Begitulah kentutku yang pertama hari itu mengudara. Bayangkan saja ruangan 4x5m dipenuhi dinginnya penyejuk udara beraroma kentut. Tanpa menunggu lebih lama, dosen segera membubarkan kelas.
“Absensinya bagaimana, pak?” tanya seorang rekan mahasiswa berteriak.
“Sudah semua,” jawabnya balas berteriak, mengacungkan amplop cokelat berisi kertas-kertas ujian kami, sambil terus berjalan cepat menuju ruang dosen. Maksudnya tentu bila mahasiswa itu hadir, berkas ujiannya sudah berpindah tangan. Dari situlah absensi dilakukan.
Aku, sebagaimana mahasiswa malas lainnya bersorak senang punya waktu luang tambahan selama dua jam. Sebagian lainnya sibuk bertanya,
“Masak hanya karena seorang kentut saja perkuliahan harus dibubarkan? Lantas, untuk apa datang pagi-pagi? Untuk apa bayar uang kuliah? Huh...”. Ya...benar juga, mengapa bisa semudah itu membubarkan kuliah? Belakangan aku tahu, ternyata pagi itu dosen tersebut juga kentut di ruang kuliah, mungkin bersamaan denganku. Dengar-dengar lagi,pagi itu sang dosen sarapan semur jengkol. Pantas ia membubarkan kelas begitu saja, malu bila tersebar bahwa kentutnya begitu memabukkan. Sebuah keberuntungan bagiku, tak perlu mengaku dan menanggung malu atas kentutku. Ha ha ha... .
Bingung hendak kemana, kuayunkan kaki menuju kantin dan memesan semangkuk mie ayam. Kantin terasa lengang, tentu saja, sementara sebagian besar mahasiswa masih berusaha menahan kantuk mendengar dosen berceramah. Tak sampai lima menit semangkok mie ayam tersaji di hadapan.
Melihat potongan ayam yang bertaburan di atas mie, aku teringat pesan teman-teman beberapa waktu lalu. Jangan makan ayam! Flu burung! Apa lagi flu burung jelas-jelas sudah menelan korban di daerah tempat tinggalmu! Betapa perhatiannya teman-temanku itu. Memang, aku tinggal bersama keluargaku di daerah Serpong yang sempat heboh dengan kasus flu burung. Rumahku hanya berselang beberapa gang saja dari rumah korban, bahkan.
Namun, rupanya aku masih tak dapat melepaskan kenikmatan makan ayam. Apakah aku tak takut mati? Lantas apa yang aman untuk dimakan? Daging sapi dengan resiko anthrax? Daging babi dengan cacingnya? Kambing dengan kolesterolnya? Sayur-sayuran dengan pestisidanya? Aku memilih bernyanyi, “sudah biarkan aja..” dan tetap makan semuanya.
Pedasnya mie membentuk bulir-bulir keringat memenuhi dahi. Sambal yang sama tampaknya juga menaikkan suhu di perutku dan merangsang sensasi kentut.. Tak ubah balon yang ditiup, udara mengembang yang memenuhi perutku memaksa untuk dikeluarkan sesegera mungkin. Sedetik kemudian, sekelompok mahasiswa putri yang baru saja bergabung di meja yang kutempati beberapa menit yang laluberanjak bangkit dari duduknya dan mencari tempat lain yang lebih nyaman. Tangan mereka tampak kewalahan mengumpulkan barang-barang milik sambil berusaha menghalau aroma kentut dari lubang hidung. Aku hanya tersenyum dalam hati. Hidung berairku secara otomatis mencegah kentut yang telah kukeluarkan kembali masuk dalam tubuh lewat sistem pernapasan. Sayang juga, pemandangan indah berlalu dari hadapan. Namun, tetap, sensasi kentut lebih memuaskan.
Setelah menandaskan mangkok mie dan membayarnya, kaki kulangkahkan menuju perpustakaan. Kantuk mulai menyerang seiring penuhnya perut dan udara yang semakin panas. Sejuknya ruang perpustakaan sungguh tepat menjawab keinginanku untuk terlelap, bila saja aku diberi sedikit ruang untuk duduk di sofa tengah yang kini terisi pebuh atau sedikit waktu untuk menempelkan kepala di meja. Baru saja mata terpejam dan mulut membuka lebar, sebuah buku setebal hampir lima centi singgah di kepala.
“Duh, kira-kira dunks..sakit niey...klo benjol gimana,” semprotku manja. Manja? Ya, manja. Oh ya, belum kukatakan, aku tengah menekuni seni peran dan bergabung dengan teater kampus. Peran yang akan kubawakan pada pentas berikut adalah seorang waria. Jadi, jangan heran bila kau berpapasan denganku di koridor kampus, aku bertingkah ‘aneh’.
“Geuleuh pisan[1]..hi..,” sahut temanku bergidik.
“Udah lah..mulai aja yuks..sejam lagi gw ada rapat,” timpal yang lain. Jadilah pagi menjelang siang itu kami berkutat denganfaktur, jurnal, neraca, saldo, dan tetek bengek-nya. Sekian menit berlalu. Rupanya efek sambal mie tadi ditambah cemilan semalam, biji beton[2], masih terasa. Aku pun mengeluarkan kentut yang ketiga di hari itu. Hasilnya? Bisa ditebak. Pengguna perpustakaan langsung semaput, tak terkecuali petugas-petugasnya. Seheboh itukah? Hehehe..tidak segitunya...minimal teman-teman belajarku langsung mengibaskan tangan berusaha menjauhkan aroma kentut dari diri mereka.
Apa katamu? Aku terkesan bangga dengan kentutku? Oh, tentu...berkat kentutku kami dijauhi nyamuk, semut, dan serangga lainnya ketika kemping dalam rangka ospek fakultas. Tentu saja waktu itu tak seorangpun tahu akulah yang kentut. Bagaimana caranya? Aku tidak akan mengatakannya padamu. Nanti kamu menyontek caraku. Ingat, hak cipta dilindungi undang-undang.
Kau sebal padaku? Karena aku suka kentut? Hei, aku tidak selalu kentut sembarangan. Kentut itu ada seninya. Dan kalau kau berbicara dari sudut pandang medis, kentut itu baik. Tahukah kau amanat para dokter pada pasiennya yang baru saja menempuh operasi? Yups, jangan makan apapun sebelum bisa kentut. Ha...betul kan..?
Kisah kentut ini sebenarnya masih dapat dijabarkan panjang lebar. Namun, melihat mukamu yang hijau kebiruan itu, lebih baik kusudahi dahulu cerita ini. Dan, satu saran dariku, kentutlah, kau akan merasa lebih baik.
[1]Sunda: menggelikan sekali
[2] biji nangka yang dimasak dan dikonsumsi sebagai makanan ringan
Gaptek
Akhirnya hari ini saya berhasil juga memasukan tulisan dalam "body post" ini. Sebelumnya berkali-kali mencoba, yang berhasil ditampilkan hanya judulnya saja. Saya masih ingin ngulik blogger ini dan menambahkan pernak-pernik lucu. sayangnya, beberapa kali mencoba, tapi belum berhasil! Hahaha... Ada yang bisa membantu? Ada yang punya cukup waktu dan tenaga menghadapi ke-gaptek-anku? Hehehe...
Seorang teman juga menyebut-nyebut soal "portal". Mahluk apa lagi itu? Portal yang saya tahu hanyalah nama rumah makan favorit kami semasa sekolah: Bakmi Portal yang lokasinya dekat sekolah.
Seorang teman juga menyebut-nyebut soal "portal". Mahluk apa lagi itu? Portal yang saya tahu hanyalah nama rumah makan favorit kami semasa sekolah: Bakmi Portal yang lokasinya dekat sekolah.
Di Luar Lingkaran
Segala sesuatunya akan tampak lebih sederhana dan mudah dimengerti ketika kita berada di luar masalah. Pengamat yang tidak terlibat secara emosional akan dapat lebih berpikir jernih ketimbang di pelaku. Mudah rasanya berkata ”jangan libatkan emosi” ketika kita menasehati klien. Namun, ketika kita sendiri yang menghadapinya emosi seolah tak terbendung.
Subscribe to:
Posts (Atom)