Sepertinya judul di atas tepat untuk menceritakan Frans Seda ; pendiri Unika Atma Jaya dan ketua pembina Yayasan Atma Jaya hingga akhir hayatnya. Segudang persembahan beliau untuk Tuhan dan negara dapat dilihat diberbagai media. Saya hanya ingin sedikit berucap: Terima kasih. Terima kasih untuk segala karya, terima kasih untuk segala teladan. Terima kasih untuk segenap cinta.
Frans Seda telah tiada. Namun, cita-cita dan semangatnya takkan pernah pudar. Kami - segenap keluarga besar civitas akademika Unika Atma Jaya - siap bergandengan tangan melanjutkan perjuangan Frans Seda.
Monday, January 4, 2010
Wednesday, December 16, 2009
Buah Kebanggaan yang Tidak Pada Tempatnya
Kejadian itu terulang lagi. Tabrakan dengan pengendara motor berakhir maut. Ini kisah ketiga yang menjadi semakin dekat dengan diriku.
Beberapa tahun yang lalu, ayah angkatku menceritakan kisah kenalan dekatnya yang memperoleh kesembuhan setelah mengalami beberapa bulan koma setelah kecelakaan lalu lintas. Kala itu ia terjatuh dari motor, membentur trotoar, hingga mengalami pendarahan di dalam tengkorak. Operasi dilakukan. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit, menguras seluruh tabungan. Biaya perawatan di rumah sakit juga tidak murah. Dengan bantuan berbagai pihak, ia bisa sadar dan kembali beraktivitas seperti sedia kala tanpa gangguan fungsi otak. Hanya kehilangan sebelah penglihatan. Bayinya yang kala itu berusia sekitar tiga bulan tetap memiliki ibu kandung yang akan membesarkannya dengan penuh cinta. Ini kisah pertama. Kisah orang yang tidak kukenal.
Kisah kedua adalah kisah istri seorang teman. Setelah hampir seminggu terbaring koma, ia meninggalkan dua seorang putra berusia lima tahun dan seorang putri berusia belum genap 40 hari. Kejadiannya mirip: terjatuh dari motor. Kali ini akibat tabrakan dengan pengendara motor lain tanpa SIM yang memotong jalan hanya karena malas menempuh jarak jauh untuk memutar. Tragisnya, tragedi ini terjadi tepat dihari kelulusan putranya dari bangku TK.
Kisah ketiga adalah kisah paman saya yang dipanggil menghadap Bapa pagi ini. Kemarin seorang pengendara motor menabraknya ketika hendak menyeberang jalan persis di depan rumah. Tidak sampai 24 jam, hampir saja ia meninggalkan seorang istri dan dua orang putra berusia sekitar tujuh dan tiga tahun.
Rasanya inilah buah kebanggaan yang tidak pada tempatnya
Beberapa tahun yang lalu, ayah angkatku menceritakan kisah kenalan dekatnya yang memperoleh kesembuhan setelah mengalami beberapa bulan koma setelah kecelakaan lalu lintas. Kala itu ia terjatuh dari motor, membentur trotoar, hingga mengalami pendarahan di dalam tengkorak. Operasi dilakukan. Tentu dengan biaya yang tidak sedikit, menguras seluruh tabungan. Biaya perawatan di rumah sakit juga tidak murah. Dengan bantuan berbagai pihak, ia bisa sadar dan kembali beraktivitas seperti sedia kala tanpa gangguan fungsi otak. Hanya kehilangan sebelah penglihatan. Bayinya yang kala itu berusia sekitar tiga bulan tetap memiliki ibu kandung yang akan membesarkannya dengan penuh cinta. Ini kisah pertama. Kisah orang yang tidak kukenal.
Kisah kedua adalah kisah istri seorang teman. Setelah hampir seminggu terbaring koma, ia meninggalkan dua seorang putra berusia lima tahun dan seorang putri berusia belum genap 40 hari. Kejadiannya mirip: terjatuh dari motor. Kali ini akibat tabrakan dengan pengendara motor lain tanpa SIM yang memotong jalan hanya karena malas menempuh jarak jauh untuk memutar. Tragisnya, tragedi ini terjadi tepat dihari kelulusan putranya dari bangku TK.
Kisah ketiga adalah kisah paman saya yang dipanggil menghadap Bapa pagi ini. Kemarin seorang pengendara motor menabraknya ketika hendak menyeberang jalan persis di depan rumah. Tidak sampai 24 jam, hampir saja ia meninggalkan seorang istri dan dua orang putra berusia sekitar tujuh dan tiga tahun.
Rasanya inilah buah kebanggaan yang tidak pada tempatnya
Thursday, November 12, 2009
petang
Petang menyisakan kelam, menggiring asa pada imaji semata. Keheranan tak lekang dari benak sepeninggal dari Sudirman 51. Seminggu yang lalu. Tak ubah hasil unduhan dari YouTube, penglihatan sesaat itu terkenang jelas.
Bayi itu masih merah ; semerah casing hp yang baru kubeli di jembatan siang itu.
Bayi itu masih merah ; semerah casing hp yang baru kubeli di jembatan siang itu.
Petang
Petang menyisakan kelam, menggiring asa pada imaji semata. Keheranan tak lekang dari benak sepeninggal dari Sudirman 51. Seminggu yang lalu. Tak ubah hasil unduhan dari YouTube, penglihatan sesaat itu terkenang jelas.
Bayi itu masih merah ; semerah casing hp yang baru kubeli di jembatan siang itu.
(disambung kapan2 y..)
Bayi itu masih merah ; semerah casing hp yang baru kubeli di jembatan siang itu.
(disambung kapan2 y..)
Tuesday, May 26, 2009
Antara Hak dan Nama Baik
ukan maksud mengajukan diri jadi pahlawan. Aku hanya ingin mengingatkan pihak-pihak terkait untuk lebih cermat dan menghindarkan jatuhnya korban dalam bentuk apapun.
* * *
Anggaplah aku tengah menghadiri sebuah pesta kebun. Meja minuman cocktail tak pernah sepi. Wanita-wanita dengan sundress warna warni bolak balik mengisi ulang gelas-gelas cocktail mereka. Para pria mendampingi, mengobrol ringan sambil menikmati hangatnya matahari dan pemandangan taman yang tertata apik. Tidak ada rumpun mawar. Hanya violet, aster, dan daisy, serta beberapa gerombol kemuning wangi.
Tibalah saat mengedarkan nampan berisi gelas champange. Untuk toast katanya. Beberapa detik yang mempersatukan. Panitia menjatah satu gelas untuk satu orang. Sudah disiapkan cermat sejumlah undangan yang disebar. Tak disangka, nampan kosong kembali dengan menyisakan beberapa hadirin tanpa gelas di tangan. Habis.
Toast harus dilanjutkan. Sebagian hadirin sudah mengangkat gelas. Panitia harus menanggung malu dan rasa tak enak hati. Apa yang akan Anda lakukan sedianya Anda adalah kerabat tuan rumah? Aku memilih menyingkir ke dalam, memberian gelasku pada tuan rumah agar si tamu dapat menyajikan setidaknya satu gelas lagi.
Hal serupa dapat terjadi kapanpun dimanapun. Konflik kepentingan seperti ini bukan hal baru. Sebenarnya kita berhak untuk menolak memberikan “jatah” untuk orang lain – dalam cerita di atas: gelas champagne. Kita juga tamu. Namun, di sisi lain, kita juga turut bertanggung jawab atas nama baik tuan rumah. Rasanya diperlukan tindakan “penyelamatan” muka tuan rumah yang notabene juga menyelamatkan muka kita sebagai kerabat.
Anggaplah pesta kebun ilustrasi di atas dapat diselamatkan dengan catatan kecil korban. Anda sudah merelakan kealpaan Anda dalam adegan toast. Bahkan Anda turut bersyukur dan tertawa bersama mereka. Bagaimana perasaan Anda jika tiba-tiba di akhir pesta, anak sang tuan rumah mendekati Anda dan menjanjikan sesuatu sebagai kompensasi “pengorbanan” Anda? Ada rasa senang bahwa “pengorbanan” Anda dihargai. Secara manusiawi, harapan pemenuhan janji itu lantas berkembang.
Selang beberapa waktu, akhirnya salah satu anggota keluarga tuan rumah menemui Anda guna pemenuhan janji tadi. Anda mendapati ia datang hanya guna memberikan gelas champange pada Anda, dan berlalu.
Bukankah akan lebih baik jika pertemuan ini dimanfaatkan sebagai ajang untuk lebih saling mendekatkan diri? Kisah panik hari hampir celaka itu bisa jadi topik menarik. Misal, bagaimana bisa sampai terjadi kekurangan. Lantas bagaimana kekurangan lainnya diatasi. Sayangnya dalam ilustrasi ini hal itu tidak terjadi.
Apa jadinya jika saat itu beberapa tamu yang tidak mendapat gelas terpaksa tersingkir dari acara? Apa yang akan mereka katakan pada orang luar? Terlebih jika mereka adalah atasan Anda atau orang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat. Malu. Meskipun seandainya mereka mengemas cerita hari itu dengan humor komedi, tetap saja nama baik tuan rumah dan keluarga tercoreng. Mungkin lain dampaknya jika kejadian serupa terjadi di belahan Eropa atau Amerika yang tidak sekarib Indonesia dalam pergaulan sosial.
Dua hal yang ingin saya sampaikan dengan penuturan ini:
1. Perencanaan cermat
2. Komunikasi efektif
Saya percaya dengan komunikasi yang baik, banyak hal dapat diatasi dengan baik pula. Permasalahan dapat diselesaikan dengan lebih lancar. Penerimaan akan “penyimpangan” pun akan lebih baik.
* * *
Anggaplah aku tengah menghadiri sebuah pesta kebun. Meja minuman cocktail tak pernah sepi. Wanita-wanita dengan sundress warna warni bolak balik mengisi ulang gelas-gelas cocktail mereka. Para pria mendampingi, mengobrol ringan sambil menikmati hangatnya matahari dan pemandangan taman yang tertata apik. Tidak ada rumpun mawar. Hanya violet, aster, dan daisy, serta beberapa gerombol kemuning wangi.
Tibalah saat mengedarkan nampan berisi gelas champange. Untuk toast katanya. Beberapa detik yang mempersatukan. Panitia menjatah satu gelas untuk satu orang. Sudah disiapkan cermat sejumlah undangan yang disebar. Tak disangka, nampan kosong kembali dengan menyisakan beberapa hadirin tanpa gelas di tangan. Habis.
Toast harus dilanjutkan. Sebagian hadirin sudah mengangkat gelas. Panitia harus menanggung malu dan rasa tak enak hati. Apa yang akan Anda lakukan sedianya Anda adalah kerabat tuan rumah? Aku memilih menyingkir ke dalam, memberian gelasku pada tuan rumah agar si tamu dapat menyajikan setidaknya satu gelas lagi.
Hal serupa dapat terjadi kapanpun dimanapun. Konflik kepentingan seperti ini bukan hal baru. Sebenarnya kita berhak untuk menolak memberikan “jatah” untuk orang lain – dalam cerita di atas: gelas champagne. Kita juga tamu. Namun, di sisi lain, kita juga turut bertanggung jawab atas nama baik tuan rumah. Rasanya diperlukan tindakan “penyelamatan” muka tuan rumah yang notabene juga menyelamatkan muka kita sebagai kerabat.
Anggaplah pesta kebun ilustrasi di atas dapat diselamatkan dengan catatan kecil korban. Anda sudah merelakan kealpaan Anda dalam adegan toast. Bahkan Anda turut bersyukur dan tertawa bersama mereka. Bagaimana perasaan Anda jika tiba-tiba di akhir pesta, anak sang tuan rumah mendekati Anda dan menjanjikan sesuatu sebagai kompensasi “pengorbanan” Anda? Ada rasa senang bahwa “pengorbanan” Anda dihargai. Secara manusiawi, harapan pemenuhan janji itu lantas berkembang.
Selang beberapa waktu, akhirnya salah satu anggota keluarga tuan rumah menemui Anda guna pemenuhan janji tadi. Anda mendapati ia datang hanya guna memberikan gelas champange pada Anda, dan berlalu.
Bukankah akan lebih baik jika pertemuan ini dimanfaatkan sebagai ajang untuk lebih saling mendekatkan diri? Kisah panik hari hampir celaka itu bisa jadi topik menarik. Misal, bagaimana bisa sampai terjadi kekurangan. Lantas bagaimana kekurangan lainnya diatasi. Sayangnya dalam ilustrasi ini hal itu tidak terjadi.
Apa jadinya jika saat itu beberapa tamu yang tidak mendapat gelas terpaksa tersingkir dari acara? Apa yang akan mereka katakan pada orang luar? Terlebih jika mereka adalah atasan Anda atau orang yang memiliki kedudukan dalam masyarakat. Malu. Meskipun seandainya mereka mengemas cerita hari itu dengan humor komedi, tetap saja nama baik tuan rumah dan keluarga tercoreng. Mungkin lain dampaknya jika kejadian serupa terjadi di belahan Eropa atau Amerika yang tidak sekarib Indonesia dalam pergaulan sosial.
Dua hal yang ingin saya sampaikan dengan penuturan ini:
1. Perencanaan cermat
2. Komunikasi efektif
Saya percaya dengan komunikasi yang baik, banyak hal dapat diatasi dengan baik pula. Permasalahan dapat diselesaikan dengan lebih lancar. Penerimaan akan “penyimpangan” pun akan lebih baik.
Sudirman, 26 Mei 2009
gundah dua minggu terakhir
Sunday, May 17, 2009
Mengalahkan atau Memperjuangkan Mimpi
Saya percaya tidak ada anak yang tidak pernah ditanya cita-citanya. Bahkan Ria Enes menuangkannya dalam lagu yang masih saya dengar sesekali. "Susan, Susan, Susan, besok gede mau jadi apa?" Setiap orang diajari membangun mimpinya sejak kanak-kanak. Mengapa? Saya tidak tahu persis kajian ilmiahnya. Yang saya tahu persis, mimpi itu memberi daya. Mimpi itulah yang menggerakkan seseorang melakukan sesuatu dan terus berjuang. Hidup tanpa mimpi sama saja mati.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, setiap orang "dipaksa" menggeser mimpinya.Atau bahkan mengubur dalam-dalam. Mimpi hanyalah mimpi. Terutama ketika mimpi pribadi bertabrakan dengan mimpi orang lain yang superior dalam hidup kita. Kita terpaksa mencecap pahitnya kehancuran mimpi. Pilihan lain adalah keluar dari pertabrakan mimpi dengan resiko kehilangan "mimpi" atau ideal yang lain.
Lantas, untuk apa kita diajari membangun mimpi. Saya hanya tahu satu hal: untuk terus hidup dan menghidupi kehidupan dengan lebih bermakna; bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar. Untuk saling menyesuaikan dan membangun mimpi bersama, lalu menjalani mimpi itu bersama.
Kini saatnya memilih: mimpi mana yang akan dijalani.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, setiap orang "dipaksa" menggeser mimpinya.Atau bahkan mengubur dalam-dalam. Mimpi hanyalah mimpi. Terutama ketika mimpi pribadi bertabrakan dengan mimpi orang lain yang superior dalam hidup kita. Kita terpaksa mencecap pahitnya kehancuran mimpi. Pilihan lain adalah keluar dari pertabrakan mimpi dengan resiko kehilangan "mimpi" atau ideal yang lain.
Lantas, untuk apa kita diajari membangun mimpi. Saya hanya tahu satu hal: untuk terus hidup dan menghidupi kehidupan dengan lebih bermakna; bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar. Untuk saling menyesuaikan dan membangun mimpi bersama, lalu menjalani mimpi itu bersama.
Kini saatnya memilih: mimpi mana yang akan dijalani.
Friday, April 3, 2009
Imaji
Aku berlari dan berputar. Berputar dan berputar. Berharap seluruh dunia berputar bersamaku. Mengikutiku. Tapi mereka diam. Tak bergeming. Aku kembali berputar dan berputar lebih kencang, abaikan rasa pusing yang mulai menyergap. Tapi mereka tetap diam. Tak peduli berapa kalipun aku berputar, dimanapun aku berputar.
Aku mulai berteriak, berteriak sembari berputar. Berharap teriakanku mampu menggetarkan mereka turut berputar bersamaku. Namun, mereka tetap diam.
Tentu saja mereka tetap dim. Untuk apa memusingkan seseorang yang sibuk memutar diri tanpa sebab dan tujuan. Ia yang tak bermakna. Ia yang bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat pemerintahan, bukan tokoh masyarakat. Bukan selebriti atau bintang olah raga. Bukan pemenang kejuaraan, bukan pembawa perubahan. Bukan siapa-siapa.
Ia hanya seorang aku yang berputar dan berputar, tanpa sebab dan tujuan. Hanya ingin memecahkan kepala dan meleburkan hati. Mengamburkan segala isi dan kembali ke titik nol.
Niat awal berubah jadi imaji, ketika putaran tak lagi memusingkan, ketika teriakan tak lagi memekakkan. Yang tersisa hanyalah hening. Dan imaji. Kini segalanya dapat kulihat dalam tenang. Seperti menonton televisi. Mulanya berwarna, perlahan berubah jadi hitam putih. Tapi lebih nikmat begii. Hitam putih. Tak ada abu-abu. Biar saja ruang ini penuh dengan kotak penghasil titik-titik cahaya pembentuk gambar itu. Biar ia memenuhi ruang. Tak ada benda lain di sini. Benarkah? Ya, kotak televisi itupun hanya imaji, disusun dari ribuan titik hampa yang dipadatkan sehingga dapat diproyeksi retina. Tanpa suara. Namun, cukup menenangkan.
Satu persatu muncul refleksi bentuk. Mulanya saling menumpuk, lalu mulai memisahkan diri. Saling menyesusikan bentuk dan ukuran. Otomatis. Seperti program komputer yang tak pernah dapat kumengerti. Seperti menyusun foto secara otomatis dengan memanfaatkan menu yang ditawarkan picasa. Berderet-deret, sedikit menumpuk, menimbun yang tak berbentuk, menampilkan rekaman-rekaman terbaik.
Rekaman? Benarkah rekaman? Rekaman itu hasil merekam. Berarti ada objek dan ada alat merekam. Tak kutemukan objek itu. Ada dimana mereka? Lalu, dimana alat perekamnya? Sepeti apa? Kamera foto kah? Kamera film? Bukan. Hasil kamera tidak seperti itu. Yang ini tanpa suara. Abstrak, namun sesekali membentuk sesuatu. Sesekali bergerak, sesekali diam tanpa maksud. Benarkah tanpa maksud? Ah, tak peduli.
Untuk apa berpikir? Ini bukan saatnya berpikir. Bukan saatnya mengingat penjelasan guru atau dosen. Bukan saatnya mengerjakan kuis atau ujian. Bukan waktunya berdiskusi. Bukan waktunya berkarya. Kini waktunya menikmati. Menikmati yang ada di sekeliling. Menikmati imaji yang berloncatan ke sana ke mari.
Jangan berpikir. Jangan bertanya. Nikmati saja. Biarkan hanyut dalam imaji dan kau pun jadi bagian dari imaji, bagian dari refleksi.
Lentur, tapi cukup padat untuk dibentuk. Berwarna, tapi juga kehilangan warna. Tetap indah karena imaji. Fleksibel, tak terbatas ruang dan waktu. Tak terbatas bentuk dan ukuran. Hanya imaji. Tanpa bentuk dan isi. Namun, dapat memenuhi ruang dalam sekejab, secepat mengosongkan ruang, tak peduli betapa sempit atau luasnya ruang. Karena aku hanyalah imaji.
Dalam imaji aku adalah si pembaharu. Dalam imaji, aka adalah yang terpenting. Semua menghormati pemikiran dan mendengarkan argumentasiku. Berani mendebat, tapi bukan eyel-eyelan. Mengasah rasa dan pengertian.
Dalam imaji aku hanyalah orang biasa yang dapat menghilang kapanpun kuinginkan. Dalam imaji aku adalah sama dengan mereka. Tertawa bersama, bergerak bersama, diam bersama. Dalam imaji aku unik sekaligus umum. Spesifik sekaligus general.
Semua hanya terjadi dalam imaji. Dunia tak perlu berputar bersamaku tuk ciptakan imaji. Hanya butuh sedikit waktu sendiri, mengisolir dirisekejap, dan berputar. Terus berputar. Dan inilah aku. Berputar-terur berputar, hanyut dalam imaji, tak hendak kembali dalam dunia di mana semua diatur dalam plot; jam sekian melakukan ini, jam sekian berlaku itu. Dalam imaji yang ada hanyalah aku yang kumau. Berlaku semauku.
Sayang, semua hanya dapat terjadi dalam imaji. Imaji yang menghidupkan sekaligus menenggelamkan. Selamat berimaji.
Sudirman, 02 April 2009 pk. 08.46
Di ruang kerjaku
Aku mulai berteriak, berteriak sembari berputar. Berharap teriakanku mampu menggetarkan mereka turut berputar bersamaku. Namun, mereka tetap diam.
Tentu saja mereka tetap dim. Untuk apa memusingkan seseorang yang sibuk memutar diri tanpa sebab dan tujuan. Ia yang tak bermakna. Ia yang bukan siapa-siapa. Ia bukan pejabat pemerintahan, bukan tokoh masyarakat. Bukan selebriti atau bintang olah raga. Bukan pemenang kejuaraan, bukan pembawa perubahan. Bukan siapa-siapa.
Ia hanya seorang aku yang berputar dan berputar, tanpa sebab dan tujuan. Hanya ingin memecahkan kepala dan meleburkan hati. Mengamburkan segala isi dan kembali ke titik nol.
Niat awal berubah jadi imaji, ketika putaran tak lagi memusingkan, ketika teriakan tak lagi memekakkan. Yang tersisa hanyalah hening. Dan imaji. Kini segalanya dapat kulihat dalam tenang. Seperti menonton televisi. Mulanya berwarna, perlahan berubah jadi hitam putih. Tapi lebih nikmat begii. Hitam putih. Tak ada abu-abu. Biar saja ruang ini penuh dengan kotak penghasil titik-titik cahaya pembentuk gambar itu. Biar ia memenuhi ruang. Tak ada benda lain di sini. Benarkah? Ya, kotak televisi itupun hanya imaji, disusun dari ribuan titik hampa yang dipadatkan sehingga dapat diproyeksi retina. Tanpa suara. Namun, cukup menenangkan.
Satu persatu muncul refleksi bentuk. Mulanya saling menumpuk, lalu mulai memisahkan diri. Saling menyesusikan bentuk dan ukuran. Otomatis. Seperti program komputer yang tak pernah dapat kumengerti. Seperti menyusun foto secara otomatis dengan memanfaatkan menu yang ditawarkan picasa. Berderet-deret, sedikit menumpuk, menimbun yang tak berbentuk, menampilkan rekaman-rekaman terbaik.
Rekaman? Benarkah rekaman? Rekaman itu hasil merekam. Berarti ada objek dan ada alat merekam. Tak kutemukan objek itu. Ada dimana mereka? Lalu, dimana alat perekamnya? Sepeti apa? Kamera foto kah? Kamera film? Bukan. Hasil kamera tidak seperti itu. Yang ini tanpa suara. Abstrak, namun sesekali membentuk sesuatu. Sesekali bergerak, sesekali diam tanpa maksud. Benarkah tanpa maksud? Ah, tak peduli.
Untuk apa berpikir? Ini bukan saatnya berpikir. Bukan saatnya mengingat penjelasan guru atau dosen. Bukan saatnya mengerjakan kuis atau ujian. Bukan waktunya berdiskusi. Bukan waktunya berkarya. Kini waktunya menikmati. Menikmati yang ada di sekeliling. Menikmati imaji yang berloncatan ke sana ke mari.
Jangan berpikir. Jangan bertanya. Nikmati saja. Biarkan hanyut dalam imaji dan kau pun jadi bagian dari imaji, bagian dari refleksi.
Lentur, tapi cukup padat untuk dibentuk. Berwarna, tapi juga kehilangan warna. Tetap indah karena imaji. Fleksibel, tak terbatas ruang dan waktu. Tak terbatas bentuk dan ukuran. Hanya imaji. Tanpa bentuk dan isi. Namun, dapat memenuhi ruang dalam sekejab, secepat mengosongkan ruang, tak peduli betapa sempit atau luasnya ruang. Karena aku hanyalah imaji.
Dalam imaji aku adalah si pembaharu. Dalam imaji, aka adalah yang terpenting. Semua menghormati pemikiran dan mendengarkan argumentasiku. Berani mendebat, tapi bukan eyel-eyelan. Mengasah rasa dan pengertian.
Dalam imaji aku hanyalah orang biasa yang dapat menghilang kapanpun kuinginkan. Dalam imaji aku adalah sama dengan mereka. Tertawa bersama, bergerak bersama, diam bersama. Dalam imaji aku unik sekaligus umum. Spesifik sekaligus general.
Semua hanya terjadi dalam imaji. Dunia tak perlu berputar bersamaku tuk ciptakan imaji. Hanya butuh sedikit waktu sendiri, mengisolir dirisekejap, dan berputar. Terus berputar. Dan inilah aku. Berputar-terur berputar, hanyut dalam imaji, tak hendak kembali dalam dunia di mana semua diatur dalam plot; jam sekian melakukan ini, jam sekian berlaku itu. Dalam imaji yang ada hanyalah aku yang kumau. Berlaku semauku.
Sayang, semua hanya dapat terjadi dalam imaji. Imaji yang menghidupkan sekaligus menenggelamkan. Selamat berimaji.
Sudirman, 02 April 2009 pk. 08.46
Di ruang kerjaku
Subscribe to:
Posts (Atom)