Sunday, May 13, 2007
Sunday, May 6, 2007
Menjaga Mutu
Masih, bernuansa Hari Pendidikan Nasional, orang-orang sibuk meributkan mutu pendidikan di Indonesia, termasuk meributkan alokasi dana pendidikan dari APBN. Institusi pendidikan dituntut untuk begini dan begitu. Semua ini semakin memicu keresahan saya mencuat ke permukaan. Keresahan yang sudah tiga tahun terakhir ini saya rasakan dan hanya mampu saya ributkan pada teman-teman sekomunitas. Ini perihal tuntutan tersedianya sumber daya manusia yang profesional.
Melihat proses pembelajaran dan pendidikan para calon pengajar dan pendidik di segala bidang membuat saya seolah berlari dalam roda marmut. Saya yakin Anda pernah melihat marmut kecil yang berlari di dalam roda di kandangnya. Persis seperti itu yang saya rasakan.
Saya akan coba mulai dari tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan tenaga profesional. Menyadari kebutuhan akan pendidikan yang menjadi semakin crucial, masyarakat secara langsung maupun tak langsung menuntut berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang bermutu lagi terjangkau. Namun, tidak mudah mencari tenaga pengajar dan pendidik yang betul-betul memenuhi kualifikasi bermutu. Pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan meningkatkan prasyarat mutlak pendidikan minimal. Untuk itu, institusi pendidikan yang telah berjalan berupaya memenuhi standar tersebut dengan memberi sarana pada para tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang dipersyaratkan. Dampaknya ada dua. Nantilah saya uraikan lebih lanjut.
Tidak puas dengan tenaga "tua", masyarakat juga menuntut tersedianya bibit-bibit baru yang dinilai lebih modern, lebih moderat, meninggalkan cara pendidikan lama yang "kolonial banget". Sayangnya, proses pendidikan para calon pendidik ini terpaksa diinterupsi oleh para pendidik senior yang tidak mau begitu saja meninggalkan gaya mapan mereka. Memang tidak sepenuhnya. Ada kalanya mereka menuntut pula para calon pendidik ini untuk mengikuti perkembangan jaman. Hanya saja, cara mereka menuntut tidak dibarengi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam porsi yang seimbang. Alhasil, sia-sialah upaya kreatif itu. Dan terasa belum cukup hanya memotong dan menyalakan, mereka juga tidak diberi gambaran jelas tentang rincian tuntutan itu. Hasilnya, lagi-lagi gaya kolonial itu yang ditiru para calon pendidik. Lagi-lagi masyarakat dikecewakan.
Itu baru dari segi gaya pendidikan dan pengajaran. Dari segi jumlah tenaga pendidik lain lagi masalahnya. Paradigma lama (yang sayangnya masih menjadi fenomena saat ini) masih menghantui: jadi guru = ????. Dan menempuh studi di fakultas pendidikan sama saja dengan mematikan masa depan. Padahal, untuk menjadi seorang pendidik tidak hanya dapat ditempuh melalui jalur formal: jadi guru. Menjadi orang tua juga berarti menjadi pendidik bagi anak-anak mereka. Menjadi seorang atasan berarti menjadi pendidik bagi bawahan. Menjadi rekan kerja berarti menjadi teman didik (peer tutor). Dalam segala segi kehidupan. Dan ilmu pendidikan pun praktis dapat diterapkan di berbagai apek kehidupan, di berbagai profesi. Namun, tetap saja bidang disiplin ini dipandang sebelah mata. Berlanjutnya paradigma ini tentunya mempertahankan kecilnya jumlah tenaga profesional pendidikan yang ada.
Mengapa anak muda tidak tertarik pada bidang ini? Atau, aspek apa yang sekiranya dapat menarik minat anak muda dalam bidang ini? Tenaga pengajar yang ada? (yang kolot itukah?) Sistem pendidikan yang ada? (yang berubah tiap tahun, berubah sebelum sistem berlajan stabil dan menghasilkan?) Lantas apa?
Akhirnya, mutu seperti apa yang bisa kita harapkan? Bagaimana meningkatkannya???
Melihat proses pembelajaran dan pendidikan para calon pengajar dan pendidik di segala bidang membuat saya seolah berlari dalam roda marmut. Saya yakin Anda pernah melihat marmut kecil yang berlari di dalam roda di kandangnya. Persis seperti itu yang saya rasakan.
Saya akan coba mulai dari tuntutan masyarakat terhadap ketersediaan tenaga profesional. Menyadari kebutuhan akan pendidikan yang menjadi semakin crucial, masyarakat secara langsung maupun tak langsung menuntut berdirinya berbagai fasilitas pendidikan yang bermutu lagi terjangkau. Namun, tidak mudah mencari tenaga pengajar dan pendidik yang betul-betul memenuhi kualifikasi bermutu. Pemerintah bermaksud meningkatkan kualitas tenaga pengajar dengan meningkatkan prasyarat mutlak pendidikan minimal. Untuk itu, institusi pendidikan yang telah berjalan berupaya memenuhi standar tersebut dengan memberi sarana pada para tenaga pengajarnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang dipersyaratkan. Dampaknya ada dua. Nantilah saya uraikan lebih lanjut.
Tidak puas dengan tenaga "tua", masyarakat juga menuntut tersedianya bibit-bibit baru yang dinilai lebih modern, lebih moderat, meninggalkan cara pendidikan lama yang "kolonial banget". Sayangnya, proses pendidikan para calon pendidik ini terpaksa diinterupsi oleh para pendidik senior yang tidak mau begitu saja meninggalkan gaya mapan mereka. Memang tidak sepenuhnya. Ada kalanya mereka menuntut pula para calon pendidik ini untuk mengikuti perkembangan jaman. Hanya saja, cara mereka menuntut tidak dibarengi dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam porsi yang seimbang. Alhasil, sia-sialah upaya kreatif itu. Dan terasa belum cukup hanya memotong dan menyalakan, mereka juga tidak diberi gambaran jelas tentang rincian tuntutan itu. Hasilnya, lagi-lagi gaya kolonial itu yang ditiru para calon pendidik. Lagi-lagi masyarakat dikecewakan.
Itu baru dari segi gaya pendidikan dan pengajaran. Dari segi jumlah tenaga pendidik lain lagi masalahnya. Paradigma lama (yang sayangnya masih menjadi fenomena saat ini) masih menghantui: jadi guru = ????. Dan menempuh studi di fakultas pendidikan sama saja dengan mematikan masa depan. Padahal, untuk menjadi seorang pendidik tidak hanya dapat ditempuh melalui jalur formal: jadi guru. Menjadi orang tua juga berarti menjadi pendidik bagi anak-anak mereka. Menjadi seorang atasan berarti menjadi pendidik bagi bawahan. Menjadi rekan kerja berarti menjadi teman didik (peer tutor). Dalam segala segi kehidupan. Dan ilmu pendidikan pun praktis dapat diterapkan di berbagai apek kehidupan, di berbagai profesi. Namun, tetap saja bidang disiplin ini dipandang sebelah mata. Berlanjutnya paradigma ini tentunya mempertahankan kecilnya jumlah tenaga profesional pendidikan yang ada.
Mengapa anak muda tidak tertarik pada bidang ini? Atau, aspek apa yang sekiranya dapat menarik minat anak muda dalam bidang ini? Tenaga pengajar yang ada? (yang kolot itukah?) Sistem pendidikan yang ada? (yang berubah tiap tahun, berubah sebelum sistem berlajan stabil dan menghasilkan?) Lantas apa?
Akhirnya, mutu seperti apa yang bisa kita harapkan? Bagaimana meningkatkannya???
Subscribe to:
Posts (Atom)